Di
antara prinsip-prinsip yang melandasi peradaban kita ialah
penggabungannya antara kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani serta
pengakuannya bahwa perhatian terhadap jasmani dan tuntutan-tuntutannya
adalah suatu keharusan untuk mewujudkan kebahagiaan manusia dan
mencerahkan rohaninya. Salah satu kalimat yang berasal dari peletak
dasar-dasar peradaban kita, Muhammad Rasulullah, adalah:
“Sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak yang hrus kau penuhi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Satu hal yang tampak dalam ibadah-ibadah
Islam ialah realisasinya terhadap salah satu tujuan terpenting ilmu
kedoteran yaitu pemeliharaan kesehatan. Shalat, puasa, haji, dan segala
yang dituntut oleh ibadah-ibadah ini berupa syarat-syarat, rukun-rukun
dan perbuatan-perbuatan, semua menjaga kesehatan, kegiatan dan kekuatan
jasmani. Apabila kita mencermati lebih jauh bahwa Islam memerangi
penyakit-penyakit dan penularannya serta menganjurkan mencari obat yang
bisa mengatasinya maka anda pasti mengetahui asas-asas kuat mana yang
melandasi pembangunan peradaban kita di bidang kedokteran dan sejauh
mana faedah yang diperoleh dunia dari peradaban kita dalam mendirikan
rumah sakit dan lembaga-lembaga kedokteran. Peradaban kita telah
menghasilakan dokter-dokter yang selalu dibanggakan jasa-jasanya oleh
kemanusiaan dalam ilmu pada umumnya dan kedokteran pada khususnya.
Bangsa Arab mengenal sekolah kedoteran
Jundisabur yang didirikan oleh Kisra pada pertengahan abad ke-6 Masehi,
Sekolah ini telah menelorkan dokter-dokternya, seperti Harits bin
Kaladah yang hidup pada masa Nabi Saw. Dia mengimbau sahabat-sahabat
Nabi agar berobat kepadanya apabila terserang penyakit.
Pada masa Walid bin Abdul Malik,
didirikan rumah sakit pertama dalam Islam yang khusus untuk penderita
kusta. Di situ ditempatkan dokter-dokter yang diberi gaji. Para
penderita diberi nafkah dan dilarang ke luar. Kemudian menyusul
pebdirian rumah sakit-rumah sakit yang dikenal dengan sebutan
Bymaristan, yaitu rumah yang ditempati orang-orang sakit.
Rumah sakit ada dua macam, yaitu rumah
sakit keliling dan rumah sakit permanen. Rumah sakit keliling adalah
rumah sakit yang pertama kali dikenal dalam Islam pada masa hidup Nabi
yakni dalam perang Khandak, ketika didirikan kemah untuk orang-orang
yang terluka.
Tatkala Sa`ad bin Muadz terluka di bagian urat tangannya, Nabi berkata, “Tempatkan dia di kemah Rafidah sampai aku menyambingnya sebentar lagi!”
Itulah rumah sakit pertama salam Islam yang didirikan pada saat perang.
Kemudian para Khalifah dan raja-raja mengembangkannya pada masa-masa
selanjutnya. Rumah sakit keliling itu dilengkapi dengan segala sesuatu
yang diperlukan orang-orang sakit seperti obat-obatan, makanan, minuman,
pakaian, dokter, dan apoteker. Rumah sakit keliling berpindah dari satu
desa ke desa lainnya di tempat-tempat yang belum ada rumah sakit
permanennya.
Wazir Isa bin Ali Al Jarrah menulis surat kepada Sinan bin Tsabit, dokter pengawas rumah sakit Bagdad dan lainnya:
“Aku memikirkan penduduk
desa-desa. Di antara mereka tentu ada yang sakit, padahal di situ tidak
ada dokter yang mengawasinya dan mengobati mereka. Maka, kirimkanlah
dokter-dokter berikut persediaan obat-obatan dan minuman, berkeliling ke
desa-desa. Di masing-masing tempat para dokter itu harus tinggal selama
jangka waktu yang dibutuhkan dan mengobati orang-orang yang sakit di
situ. Kemudian baru berpindah ke tempat lainnya.”
Sebagian rumah sakit keliling itu pada
masa Sultan Muhammad Seljuk mencapai volume yang besar sehingga diangkut
oleh empat puluh ekor unta. Rumah sakit-rumah sakit permanen sudah
banyak jumlahnya, memenuhi kota-kota dan ibukota-ibukota. Tidak ada
sebuah negeri kecil pun di dunia Islam saat itu yang tidak memiliki
rumah sakit. Bahkan Cordoba saja mempunyai lima puluh rumah sakit. Rumah
sakit-rumah sakit itu bermacam-macam. Ada rumah sakit militer yang di
tangani oleh dokter-dokter spealis, di samping dokter-dokter khalifah,
para panglima dan Umara dan ada rumah sakit-rumah sakit untuk
narapidana. Para dokter berkeliling mengunjungi mereka setiap hari untuk
mengobati penyakit mereka dengan obat-obat yang lazim.
Wazir Isa bin Ali al Jarrah pernah
menulis surat kepada Sinan BinTsabit, pemimpin-pemimnpin dokter-dokter
Bagdad. Isi surat itu antara lain:
“Aku memikirkan keadaan
orang-orang dalam penjara. Di antara mereka pasti ada yang terserang
penyakit karena jumlah mereka banyak sementara tempatnya sangat buruk.
Maka, seyogyanya engkau mengirimkan secara khusus dokter-dokter kepada
mereka setiap hari serta membawa obat-obatan dan minuman, lalu
berkeliling mengunjungi penjara-penjara dan mengobati orang-orang sakit
yang ada di situ.”
Ada juga pos-pos pertolongan pertama
yang didirikan di dekat masjid-masjid dan tempat-tempat umum yang penuh
dengan masa, Al Marqizi bercerita kepada kita bahwa Ibnu Toulon, ketika
membangun masjidnya yang terkenal di Mesir, di bagian belakang masjid ia
membuat tempat Wudhu dan apotek. Di apotek itu terdapat seluruh macam
obat dan minuman, ada pelayan-pelayannya, dan ada pula dokter yang duduk
setiap hari jum`at untuk mengobati jamaah shalat yang terserang
penyakit.
Ada pula rumah sakit-rumah sakit umum
yang selalu membuka pintu-pintunya untuk mengobati masyarakat. Rumah
sakit-rumah sakit umum terbagi menjadi dua bagian pria dan bagian
wanita. Masing-masing bagian mempunyai ruangan yang banyak. Setiap
ruangan untuk satu macam penyakit. Antara lain ada ruangan untuk
penyakit dalam, untuk penyakit mata, ruangan operasi bedah, untuk patah
dan retak tulang, dan untuk penyakit jiwa. Bagian penyakit dalam
mempunyai ruangan khusus lagi, Ada ruangan khusus untuk penyakit diare,
dan lain sebagianya. Setiap bagian terdiri dari beberapa dokter yang
dipimpin oleh dokter kepala bagian bedah dan patah tulang, juga ada
dokter kepala bagian mata. Semua bagian dipimpin oleh direktur umum yang
disebut sa`ur, yaitu gelar bagi kepala dokter-dokter rumah sakit.
Dokter-dokter itu bekerja secara
bergiliran. Setiap dokter mempunyai waktu tertentu dimana ia berada
dalam ruangan-ruangan yang ditempatinya untuk mengobati para pasien. Di
setiap rumah sakit ada sejumlah karyawan, laki-laki dan perempuan, juru
rawat dan pembantu. Masing-masing mendapat gaji tertentu yang cukup. Di
setiap rumah sakit juga terdapat apotek yang di sebut gudang obat .
Apotek itu berisi berbagai macam sirup dan tablet yang berharga, aneka
jenis obat, wewangian istimewa yang hanya terdapat di situ. Di samping
itu juga terdapat alat-alat bedah, bejana-bejana kaca dan keramik, dan
lain-lain, padahal semua benda tersebut biasanya terdapat di lemari
raja-raja.
Rumah sakit-rumah sakit itu juga
merupakan sekolah-sekolah kedoteran. Di setiap rumah sakit terdapat
ruangan besar untuk kuliah. Para dokter ahli bersama para dokter dan
mahasiswa duduk di ruangan itu. Di samping mereka ada alat-alat dan
buku-buku. Para mahasiswa duduk di hadapan guru mereka setelah
mengunjungi dan mengobati pasien. Kemudian berlangsunglah
pembahasan-pembahasan tentang kedokteran dan diskusi antara guru dan
murid. Mereka menelaah buku-buku kedokteran. Seringkali sang guru
disertai muridnya masuk ke rumah sakit untuk melakukan kuliah praktek
terhadap para pasien, seperti yang terjadi sekarang ini di rumah
sakit-rumah sakit yang berlindung pada fakultas kedokteran.
Ibnu Abu Ushaibiah, salah seorang dosen yang mengajar ilmu kedokteran di Bymaristan An Nuri di Damaskus berkata, “Setelah
Hakim Muhadzabuddin dan Hakim Imran selesai mengobati para pasien yang
diopname di Bymaristan (ketika itu aku bersama mereka), maka aku lantas
duduk bersama syekh Ridhaddin ar Rahbi. Aku mencermati cara dia
mendiagnose penyakit dan segala yang dianalisa dengannya tentang banyak
penayakit dan cara-cara pengobatannya.”
Seorang tidak dokter tidak diijinkan
membuka praktek sendiri sebelum menempuh ujian (pendadaran) di hadapan
dokter ahli. Ia maju dengan sebuah tesis mengenai ilmu yang ia inginkan
ijazahnya. Tesis itu dapat bersumber dari hasil karangannya atau
karangan salah seorang dokter ahli dikajinya dan dikomentarinya. Ia
diuji mengenai tesis itu dan ditanya mengenai segala sesuatu yang
berkaitan dengan hal itu. Jika ia bisa menjawab dengan baik maka dokter
ahli memberinya ijazah yang dapat mengijinkannya menjalankan praktek
kedokteran.
Pada tahun 319 H (931 M) pada masa
khalifah Al Muqtadir pernah terjadi, salah seorang dokter salah
mengobati seorang pasien hingga pasien itu meninggal. Maka khalifah
memerintahkan para dokter ahli agar menguji sekali lagi semua dokter di
Bagdad. Mereka lalu diuji oleh Sinan bin Tsabit, tokoh dokter ahli di
Bagdad. Di Bagdad saja jumlah dokter mencapai 860 orang lebih.
Dokter-dokter yang tidak diuji adalah dokter-dokter terkenal,
dokter-dokter khalifah, menteri dan pejabat. Setiap rumah sakit juga
mempunyai sebuah perpustakaan yang penuh dengan buku-buku kedokteran dan
buku-buku lainnya yang dibutuhkan oleh para dokter dan mahasiswa
kedokteran.
Ibnu Toulon di Kairo terdapat
perpustakaan yang berisikan lebih dari 100.000 buku mengenai seluruh
macam ilmu. Aturan masuk ke rumah sakit-rumah sakit itu adalah gratis
bagi semua orang, baik untuk kaya maupun miskin, yang rumahnya jauh
maupun dekat, dan untuk orang yang tersohor maupun tidak. Pertama kali
pasien diperiksa di ruang depan (luar). Jika penyakitnya ringan maka
resepnya langsung ditulis dan ditukarkan ke apotek rumah sakit. Namun
orang yang kondisi penyakitnya mengharuskannya diopname di rumah sakit
maka namanya dicatat, dibawa masuk ke kamar mandi, dilepas pakaiannya
(yang diletakkan dilemari khusus), kemudian diberi pakaian khusus rumah
sakit. Setelah itu ia dimasukkan ke ruangan khusus tempat pasien-pasien
yang berpenyakit serupa.
Ia diberi tempat tidur sendiri yang
bagus, diberi obat yang telah ditentukan dokter dan diberi makanan yang
sesuai dengan kesehatannya yang telah ditetapkan untuknya. Makanan
pasien biasanya meliputi daging kambing, sapi, burung dan ayam. Tanda
kesembuhan pasien adalah apabila ia boleh makan roti dan ayam secara
lengkap dalam satu menu. Bila ia sudah memasuki fase kesembuhan maka ia
di masukkan ke ruangan khusus untuk pasien-pasien yang baru sembuh. Jika
ia benar-benar sembuh maka ia diberi pakaian ganti yang baru dan
sejumlah uang yang mencukupinya sampai ia mampu bekerja.
Kamar-kamar rumah sakit selalu bersih.
Air selalu mengalir lancar. Ruangan-ruangannya diberi perabotan yang
terbaik. Setiap rumah sakit mempunyai pemeriksa-pemeriksa kebersihan dan
pengawas-pengawas keuangan. Seringkali khalifah atau amir menjenguk
sendiri para pasien serta mengawasi perlakuan dan pelayanan rumah sakit
terhadap mereka. Itulah aturan yang berlaku di seluruh rumah sakit yang
ada di dunia Islam baik di Magrib (wilayah Barat), di Masyriq (kawasan
Timur), di rumah sakit-rumah sakit Bagdad, Damaskus, Kairo, Al Quds,
Mekah, Madinah, Maroko, Andalus dan lainnya. Namun di sini kami akan
membatasi pembicaraan pada empat buah rumah sakit di empat kota dari
ibukota-ibukota Islam pada masa-masa itu
http://www.hasanalbanna.com/rumah-sakit-dan-lembaga-kedokteran-di-masa-kejayaan-islam-1/
0 komentar:
Posting Komentar