Surat kabar “al-Riyadh” dan sejumlah media lainnya melaporkan berita tentang Raja Saudi yang merestrukturisasi Dewan Syura, dan mengangkat 30 wanita di dalamnya, serta mengamandemen sejumlah pasal dalam sistem Dewan, sehingga jumlah anggota Dewan yang mewakili perempuan tidak kurang dari 20%.
*** *** ***
Tampaknya Raja Arab Saudi merasa terancam setelah meluasnya tuntutan
revolusi di negeri-negeri Arab, sehingga ia ingin memperbaiki citranya
di depan rakyat. Untuk itu, ia melakukan apa yang disebut dengan
(reformasi), khususnya di bidang hak-hak perempuan. Karenanya, ia
mengizinkan perempuan untuk masuk menjadi anggota Dewan Syura dengan
cara ditunjuk, yang seharusnya mereka dipilih oleh rakyat karena mereka
mewakilinya. Pertanyannya, apakah kebolehan bagi perempuan untuk masuk
menjadi anggota Dewan dengan cara ditunjuk ini sebagai sebuah prestasi?!
Dan apakah dengan itu, perempuan Saudi telah mencapai aspirasi terkait
partisipasinya dalam kehidupan politik?Dewan ini sebagaimana yang lainnya di negeri-negeri Arab dan Islam adalah Dewan formalitas yang tidak dapat mempengaruhi keputusan dari rezim yang berkuasa, dan keputusan-keputusan yang dikeluarkannya untuk melayani kelas penguasa, bahkan terkadang untuk melayani Barat, bukan untuk melayani rakyat. Dengan begitu, apakah partisipasi perempuan di Dewan tersebut adalah sebuah prestasi?!
Rezim ini, yang mengklaim dirinya rezim Islam, yang mengambil ketentuan syariah sebagai dalih dalam membenarkan keputusannya. Rezim ini melarang wanita melakukan hal-hal yang sebenarnya dibolehkan syara’, seperti mengemudi mobil dengan dalih melanggar ketentuan syariah Islam. Sebaliknya, rezim ini membolehkan wanita berpartisipasi dalam Olimpiade, yang di dalamnya terjadi ikhtilâth (pencampuran) yang diharamkan, serta membuka aurat?! Kemudian, hari ini ia membolehkan perempuan masuk menjadi anggota Dewan Syura, serta berpartisipasi dalam kehidupan politik. Padahal Islam telah membolehkan hal itu dan menganggapnya sebagai hak di antara hak-hak perempuan sejak lebih dari 1.400 tahun lalu.
Islam benar-benar telah membuat wanita memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam Majelis Ummah untuk menjalankan kewajiban mengoreksi penguasa, dan menyampaikan pendapatnya dalam persoalan dimana ia diminta pendapatnya. Pada tahun ketiga belas dari kenabian (tahun di mana beliau berhijrah) datang kepada beliau tujuh puluh lima Muslim, termasuk dua perempuan. Kemudian mereka semua berbaiat dengan baiat Aqabah kedua, yaitu baiat perang dan pertempuran, serta baiat politik. Setelah mereka selesai berbaiat, Rasulullah bersabda kepada mereka semua: “Datangkan kepada saya dua belas orang pemimpin dari kalian, dimana mereka mewakili kaumnya”. Perintah dari Rasul ini adalah untuk semua, agar mereka dipilih dari semua, tidak khusus bagi laki-laki, dan tidak ada pengecualian terhadap perempuan.
Hal ini dikuatkan dengan sikap Umar bin Khattab ketika beliau dihadapkan pada suatu persoalan dimana beliau ingin mengambil pendapat kaum Muslim dalam persoalan itu, baik berhubungan dengan hukum Islam, atau pemerintahan, atau tindakan negara yang manapun, maka beliau memanggil orang-orang ke masjid (laki-laki dan perempuan), dan meminta pendapat mereka semua. Bahkan beliau mencabut kembali pendapatnya, ketika seorang perempuan menolaknya terkait pembatasan mahar.
Sesungguhnya, perempuan Muslim di Arab Saudi dan di semua negeri Islam tidak akan pernah mendapatkan hak pribadi untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, kecuali dengan penerapan Islam secara praktis di bawah naungan negara Khilafah, di mana dengan naungannya, perempuan pasti mendapatkan hak-hak politik dan non-politiknya.
Untuk itu, hendaklah kalian (kaum perempuan) memiliki andil dalam pembentukan negara yang agung ini, sehingga kalian memperoleh kemulian di dunia dan di akhirat (fi ad-dâraini), insya Allah.
Allah SWT berfirman: “Dan di hari itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah.” (TQS. Ar-Rûm [30] : 4-5).
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 28/1/2013
0 komentar:
Posting Komentar