DOWNLOADS

Senin, 30 Desember 2013

IKATAN AQIDAH SEBAGAI IKATAN IDEOLOGI


Ikatan ideologi bukanlah ikatan darah dan nasab, bukanlah ikatan bahasa dan warna kulit, bukanlah ikatan kaum dan marga, bukanlah ikatan suku dan ras, bukanlah ikatan tanah air dan bangsa, bukan juga ikatan patriotisme dan nasionalisme.
Ikatan ideologi adalah ikatan aqidah. Ikatan aqidah yang memancarkan seluruh peraturan yang mengikat kebersamaan manusia, memecahkan dan mengatasi problematika hidup manusia serta menjadi ikatan yang paling kuat mengikat antar manusia dalam kehidupannya. Sungguh, idelogi yang lahir dari benak manusia karena kejeniusannya adalah ideologi bathil, karena berasal dari akal manusia yang terbatas, yang tidak manpu menjangkau sesuatu yang nyata, karena setiap yang berasal dari manusia selalu menimbulkan perbedaan, perselisihan dan pertentangan.
Jadi, ideologi yang muncul dalam benak pemikiran manusia melalui wahyu adalah ideologi yang benar, karena bersumber dari sang pencipta (al-Khaliq) yaitu pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan, karena setiap yang datang dari yang maha benar pasti kebenaran yang didapatan dalam mengatur kehidupan manusia. Yaitu kehidupan yang baik dalam meraih kebangkitan dan kemajuan. Masyarakat terkadang tidak sadar bahwa sesungguhnya ikatan yang mengikat mereka saat ini hanyalah ikatan semu yang bersifat temporal dan emosional, yang tidak manpu mempersatukan manusia.
Sebut saja ikatan sukuisme yang disembah oleh para pengagumnya sebagai berhala baru yang dijadikan tuhan oleh mereka, mereka berusahan untuk mendominasi dalam mengeliminasi dan memusuhi suku tertentu karena berbeda pendapat dengan mereka. Ikatan nasionalisme sebagai ikatan yang rusak karena bersifat emosional atau mencul ketika ada serangan setelah itu mereka bermusuhan. Ikatan ini tidak akan manpu menyatukan manusia menuju sebuah kemajuan karena dibatasi oleh batas teritorial yang tidak punya makna dihadapan Allah SWT. Ikatan kemaslahatan, ikatan kepentingan, ikatan nasab, keturunan, kabilah dan lain sebagainya sungguh tidak akan manpu menyatukan manusia dalam rasa, pemikiran dan keyakinan yang sama dalam menerapakan aturan yang mengatur kehidupan bersama.
Masyarakat saat ini juga tidak sadar dan terlena karena “dinina bobokan” oleh status quo bahkan secara tidak sadar mereka menyembah berhala-berhala modern selain Allah SWT. Berhala itu kadang mereka namakan sosialisme-komunisme, kadang mereka namakan kapitalisme-demokrasi, kadang juga mereka namakan patriotisme, kadang mereka juga namakan nasionalisme, pluralisme, sekularisme dan isme-isme lainnya. Paham-paham tersebut sungguh bertentangan dengan keyakinan umat islam, bahkan haram hukumnya kita imani dan yakini menjadi sebuah kebenaran, apalagi latah menyerang sesama muslim karena membela berhala modern tersebut. Sungguh memiluhkan...!
Perang pemikiran sedang bergejolak ditengah-tengah masyarakat hari ini, perang antara yang makruf dengan yang mungkar, kebaikan dengan keburukan, yang haq dengan yang batil, sulit terelakan. Tapi yakinlah dengan janji Allah SWT bahwa sesungguhnya yang menang pastilah kebenaran.
Marilah kita bersatu dan rapatkan barisan dalam ikatan ideologi (aqidah islam) yang satu, karena kita punya Allah swt yang satu, rasul saw yang satu, al-Qur’an yang satu, kiblat yang satu. Harusnya juga dalam kepemimpinan yang satu di bawah komando amirul mukminin atau khalifah dalam negara yang satu Khilafah Roshidah ala Minhajinnabi. Akhirnya, marilah kita berdo’a kepada Allah agar dimudahkan segala urusan dalam menguatkan barisan persatuan

Oleh: Muh. Didiharyono

CARA MEWUJUDKAN KEBANGKITAN UMAT ISLAM

kafilah2

KEBANGKITAN dalam bahasa Arab dinyatakan dengan kata an Nahdlah yang berasal dari kata nahadlo – yanhadlu –nahdlon – nahdlotan yang berarti berdiri atau bangkit. Jadi kata nahadlo – secara bahasa – tidak berbeda dengan kata qooma yang juga bermakna berdiri. Tetapi secara istilah, kata kebangkitan (an Nahdloh) memiliki makna kemajuan, yaitu sebuah pergerakan yang berawal dari suatu kondisi menuju kondisi yang lebih baik. Kebangkitan yang paling mendasar adalah perubahan cara berfikir. Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani dalam buku beliau Nidzam ul-Islam (Peraturan Hidup dalam Islam) menyatakan bahwa kebangkitan manusia – tidak bisa tidak – diawali oleh cara pandang manusia kepada alam sekitarnya (manusia, kehidupan dan alam semesta) dikaitkan dengan apa yang ada sebelum kehidupan ini dan apa yang ada sesudahnya. Syaikh Sayyid Qutub menggambarkan bahwa kebangkitan yang sesuangguhnya adalah kebangkitan yang mencetak generasi seperti generasi sahabat ra. Perilaku seseorang akan selalu didasarkan pada pemikiran dan pemahamannya. Semakin meningkat taraf pemikiran seseorang, akan semakin tinggi pulalah nilai perilaku seseorang tersebut, ia pun tidak akan hanya mengekor saja tanpa mengetahui sesuatu yang akan dilakukannya. Maka, hakikat kebangkitan adalah meningkatnya taraf berfikir yang dilandasi aqidah, dimana satu-satunya aqidah yang benar adalah aqidah Islamiyyah. 
 
Individu merupakan salah satu bagian dari masyarakat (umat). Masyarakat diartikan sebagai sekumpulan inividu yang berinteraksi secara kontinyu dan diatur oleh satu sistem aturan tertentu, dimana interaksi yang terus-menerus itu hanya akan terjadi bilamana para individu tersebut memiliki perasaan dan pemikiran yang sama tentang perkara-perkara yang dihadapi oleh mereka dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat. Syaikh Hafizh Shalih dalam bukunya An-Nahdlah memperkuat pernyataan di atas. Ia menandaskan bahwa tolok ukur rusak tidaknya, maju atau mundurnya, bangkit dan merosotnya, dinamis atau mandegnya, serta bersatu atau bercerai-berainya suatu masyarakat adalah tergantung pada kesesuaian antara sistem aturan dengan pemikiran dan perasaan umat (‘urf ‘am), keterikatan umat terhadapnya, keyakinan umat terhadap kebenaran pemikiran dan sistem yang mengaturnya, serta tergantung kepada kesadaran umat melaksanakan ‘urf ‘am dan sistem itu. 
 
Kebangkitan umat haruslah kebangkitan yang ideologis (an-nahdlah al-mabda’iyyah), sebab hanya “ideologi” (mabda’) sajalah yang merupakan aqidah aqliyah yang memancarkan sistem peraturan kehidupan, yang dapat memecahkan segala macam problemtika kehidupan yang muncul dalam masyarakat. Bagaimanakah jalan menuju kebangkitan yang benar ? menurut Syaikh Hafizh Shalih dalam bukunya An-Nahdlah, jalan menuju kebangkitan yang benar adalah : Pilih kebangkitan yang benar. Pahami kebangkitan yang benar secara total dan sampaikan kepada umat. Kebangkitan yang benar adalah kebangkitan yang berdasarkan Islam sebagai Mabda’. Pahami Islam secara kaffah, kemudian sampaikan kepada umat dalam bentuk pembinaan dan pengkaderan. Umat dibina dengan aqidah Islam dan ide-ide yang terlahir dari aqidah tersebut, sehingga mereka meyakini betul dan menghubungkannya dengan fakta yang dihadapinya. Bila terjadi pertentangan antara ide dan fakta yang terjadi, niscaya akan timbul tuntutan untuk mengubah fakta sehingga sesuai dengan ide yang diyakininya. Atau akan terjadi benturan pemikiran. Oleh karena itu, pemahaman akan fakta dan pemecahan Islam terhadap fakta tersebut harus senantiasa dilakukan, sehingga masyarakat mampu menilai mana yang benar dan mana yang salah menurut Islam. Muncul kesadaran akan memunculkan tuntutan, jika umat sudah bangkit, maka mereka akan menuntut agar setiap aktivitas mereka diatur dengan mabda’ yang diyakininya. Dan ini akan membawa kepada kekuasaan. Namun kekuasaan bukanlah tujuan kebangkitan, tetapi ia hanyalah sebuah jalan untuk mewujudkan kebangkitan Islam, yaitu diterapkannya aturan-aturan Islam dalam kehidupan. 
 
Sebenarnya jalan untuk menjadikan umat untuk bangkit hanyalah satu, yaitu dengan cara meningkatkan taraf berfikirnya, bukan dalam hal peningkatan taraf ekonomi, bukan kemajuan iptek, atau pula akhlak mulia. Akan tetapi satu-satunya jalan menuju kebangkitan umat hanyalah dengan meningkatkan taraf berfikir tadi. Kondisi saat ini mengharuskan kita bangkit kembali dan merebut kembali gelar yang Allah berikan kepada umat Nabi Muhammad yaitu Khairru Ummah. Dan, meningkatakan taraf berfikir kita –selaku bagian dari umat islam- merupakan wasilahnya. Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan ke tengah-tengah manusia agar kalian memerintahkan kebajikan dan mencegah kemunkaran sementara kalian beriman kepada Allah.” (Firman Allah Surat Ali Imran ayat 110). 
 
Oleh : M. Tamrin

Minggu, 29 Desember 2013

HUKUM MERAYAKAN TAHUN BARU


Perayaan tahun baru Masehi (new year’s day, al ihtifal bi ra`si as sanah) bukan hari raya umat Islam, melainkan hari raya kaum kafir, khususnya kaum Nashrani. Penetapan 1 Januari sebagai tahun baru yang awalnya diresmikan Kaisar Romawi Julius Caesar (tahun 46 SM), diresmikan ulang oleh pemimpin tertinggi Katolik, yaitu Paus Gregorius XII tahun 1582.  Penetapan ini kemudian diadopsi oleh hampir seluruh negara Eropa Barat yang Kristen sebelum mereka mengadopsi kalender Gregorian tahun 1752. (www.en.wikipedia.org; www.history.com)

Bentuk perayaannya di Barat bermacam-macam, baik berupa ibadah seperti layanan ibadah di gereja (church servives), maupun aktivitas non-ibadah, seperti parade/karnaval, menikmati berbagai hiburan (entertaintment), berolahraga seperti hockey es dan American football (rugby), menikmati makanan tradisional, berkumpul dengan keluarga (family time), dan lain-lain. (www.en.wikipedia.org).

Berdasarkan manath (fakta hukum) tersebut, haram hukumnya seorang muslim ikut-ikutan merayakan tahun baru Masehi. Dalil keharamannya ada 2 (dua); Pertama, dalil umum yang mengharamkan kaum muslimin menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al kuffaar). Kedua, dalil khusus yang mengharamkan kaum muslimin merayakan hari raya kaum kafir (tasyabbuh bi al kuffaar fi a’yaadihim).

Dalil umum yang mengharamkan menyerupai kaum kafir antara lain firman Allah SWT (artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) ‘Raa’ina’ tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS Al Baqarah : 104). Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan mengatakan Allah SWT telah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai orang-orang kafir dalam ucapan dan perbuatan mereka. Karena orang Yahudi menggumamkan kata ‘ru’uunah’ (bodoh sekali) sebagai ejekan kepada Rasulullah SAW seakan-akan mereka mengucapkan ‘raa’ina’ (perhatikanlah kami). (Tafsir Ibnu Katsir, 1/149).

Ayat-ayat yang semakna ini banyak, antara lain QS Al Baqarah : 120, QS Al Baqarah : 145; QS Ali ‘Imran : 156, QS Al Hasyr : 19; QS Al Jatsiyah : 18-19; dll (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 12/7; Wa`il Zhawahiri Salamah, At Tasyabbuh Qawa’iduhu wa Dhawabituhu, hlm. 4-7; Mazhahir At Tasyabbuh bil Kuffar fi Al ‘Ashr Al Hadits, hlm. 28-34). Dalil umum lainnya sabda Rasulullah SAW, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR Ahmad, 5/20; Abu Dawud no 403). Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan sanad hadits ini hasan. (Fathul Bari, 10/271). Hadits tersebut telah mengharamkan umat Islam menyerupai kaum kafir dalam hal-hal yang menjadi ciri khas kekafiran mereka (fi khasha`ishihim), seperti aqidah dan ibadah mereka, hari raya mereka, pakaian khas mereka, cara hidup mereka, dll. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 12/7; Ali bin Ibrahim ‘Ajjin, Mukhalafatul Kuffar fi As Sunnah An Nabawiyyah, hlm. 22-23).

Selain dalil umum, terdapat dalil khusus yang mengharamkan kaum muslimin merayakan hari raya kaum kafir.  Dari Anas RA, dia berkata,”Rasulullah SAW datang ke kota Madinah, sedang mereka (umat Islam) mempunyai dua hari yang mereka gunakan untuk bermain-main. Rasulullah SAW bertanya,’Apakah dua hari ini?’ Mereka menjawab,’Dahulu kami bermain-main pada dua hari itu pada masa Jahiliyyah.’ Rasulullah SAW bersabda,’Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR Abu Dawud, no 1134). Hadits ini dengan jelas telah melarang kaum muslimin untuk merayakan hari raya kaum kafir. (Ali bin Ibrahim ‘Ajjin, Mukhalafatul Kuffar fi As Sunnah An Nabawiyyah, hlm. 173).

Berdasarkan dalil-dalil di atas, haram hukumnya seorang muslim merayakan tahun baru, misalnya dengan meniup terompet, menyalakan kembang api, menunggu detik-detik pergantian tahun, memberi ucapan selamat tahun baru, makan-makan, dan sebagainya. Semuanya haram karena termasuk menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al kuffaar) yang telah diharamkan Islam. Wallahu a’lam. [] M Shiddiq Al Jawi
Sumber :  http://hizbut-tahrir.or.id/2013/12/28/hukum-merayakan-tahun-baru/

Kamis, 21 November 2013

PANDANGAN ISLAM TERHADAP PENYADAPAN

SEKILAS HUKUM PENYADAPAN DALAM ISLAM

Oleh: Harits Abu Ulya
Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)
Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI

Tahun silam rakyat Indonesia dihadapkan pada kasus substansi RUU yang terkait penyadapan (intersepsi) oleh badan Intelijen.Pro-kontra tidak bisa dihindari,karena rakyat menjadi obyek dari operasi intersepsi.Dalam kontek yang sedikit berbeda, kasus terbaru penyadapan dilakukan oleh pihak asing terhadap person-person penting dari pejabat negara.Pihak Australia menyadap komunikasi Presiden RI dan beberapa orang dilingkaran dekatnya.Bagaimanakah sejatinya penyadapan dalam perspektif Islam? Berikut sekilas penjelasannya.

Dalam perhelatan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 di, di Asrama Haji Sudiang, Makasar, Sulawesi Selatan, (25/3/2010) telah dibahas mengenai hukum mengintip dan mengintai pembicaraan orang lain melalui sadap telepon adalah tidak boleh atau haram. Keputusan itu merupakan salah satu hasil tim bahsul masail diniyah waqiiyah (pembahasan masalah tematik).

“Hukum (penyadapan telepon, Red) itu tidak boleh, kecuali kalau untuk kepentingan penegakan hukum dan benar-benar ada gholabatuzh zhan (dugaan kuat) melakukan maksiat atau pelanggaran aturan,” kata KH Saifuddin Umar, ketua Tim Materi Bahsul Masail Diniyah Waqiiyah NU.

Bagi kita kaum muslimin yang perlu diketahui adalah apa hukum penyadapan? Apakah ia terkategori tindakan mata-mata atau spionase (tajassus)? Apa hukum tajassus terhadap kaum muslimin, baik rakyat maupun penguasa? Bagaimana kalau tajassus itu dilakukan terhadap pihak lawan, yakni negara atau rakyat kafir harbi?


Hukum Penyadapan Telepon

Penyadapan telepon merupakan kasus yang “lazim” dalam arena dan pertarungan politik dalam negara-negara demokrasi modern. Dalam kasus di sejumlah negara, penyadapan telepon dilakukan aparat pemerintah terhadap pesawat-pesawat telepon milik politisi dan wartawan terkemuka di negeri-negeri masing-masing. Ini biasanya dilakukan untuk mengontrol aktivitas para politisi dan wartawan. Kasus bocornya dokumen-dokumen oleh Wikileaks mengungkap aktifitas ini.

Oleh karena itu, dari segi fakta penyadapan telepon, yang tidak lain adalah untuk mengetahui isi pembicaraan rahasia antara dua orang yang sedang menelpon, dapat kita kategorikan bahwa penyadapan telepon itu adalah salah satu jenis kegiatan mata atau spionase atau tajassus.

Sebab, tajassus itu, menurut  An Nabhani dalam kitab As Syakhshiyyah al Islamiyyah Juz 2 hal 211, adalah kegiatan menyelidiki atau mengusut suatu kabar untuk menelitinya lebih lanjut. Selain kegiatan spionase oleh badan intelejen, tajassus bisa terjadi pada wartawan yang melebihi tugasnya sebagai reporter (pengumpul dan penyebar berita), yakni melakukan investigasi untuk mendapatkan laporan-laporan yang sensasional. Termasuk dalam hal ini adalah apa yang dilakukan oleh paparrazi yang mencuri-curi momen-momen rahasia untuk difotonya.

Dalam hukum Islam, kegiatan tajassus memiliki hukum sesuai dengan fakta kegiatannya. Jika aktivitas itu ditujukan kepada kaum muslimin, baik rakyat maupun penguasa, hukumnya haram. Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prangsangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian melakukan tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain)…” (QS. Al Hujurat 12).

Menurut  As Shaabuni dalam tafsirnya Shafwatut Tafaasiir Juz 3 hal 218, kalimat “walaa tajassasuu” berarti janganlah mencari-cari aurat (rahasia) kaum muslimin dan jangan memonitor aib-aib mereka. Ketika ditanya tentang kejadian menetesnya khamer (minuman keras) dari jenggot seorang yang bernama Walid bin Uqbah bin Abi Mu’ith, Ibnu Mas’ud r.a. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Abi Syaibah mengatakan : “Kita dilarang melakukan tajassus, jika sesuatu telah nyata bagi kita, kita akan ambil (atasi)” (lihat Imam Az Zamakhsyari, Tafsir Al Kasysyaf Juz 4 hal 363).

Larangan tajassus terhadap kaum muslimin dalam ayat di atas bersifat umum, berlaku bagi perorangan, kelompok, maupun negara. Baik tajassus itu dilakukan untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Hukum larangan tajassus terhadap kaum muslimin itu berlaku pula terhadap warga negara non muslim (kafir dzimmi). Sebab, seorang kafir yang tunduk kepada negara Islam dan berstatus sebagai warga negara yang dilindungi, terhadapnya belaku seluruh hukum Islam kecuali hukum-hukum yang berkenaan dengan aqidah dan ibadah, dan masalah tajassus ini tidak termasuk dalam hal itu (An Nabhani, idem, hal 212).

Namun jika sasaran tajassus adalah negara lawan atau warga negaranya yang statusnya adalah orang kafir harbi (baik kafir must’min maupun kafir mu’ahid) yang memasuki negeri-negeri Islam atau berada di negeri mereka sendiri, maka tajassus terhadap mereka hukumnya boleh (jaiz) dilakukan oleh kaum muslimin dan wajib bagi negara khilafah. Seperti dalam kasus Rasulullah saw. pernah mengutus serombongan pasukan yang dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy dengan membawa surat yang isinya adalah:

“Jika anda melihat suratku ini, maka berjalanlah terus hingga sampai ke kebun korma antara Makkah dan Thaif, dari situ intailah orang-orang Quraisy dan sampaikan- lah kepada kai informasi tentang mereka”.

Dari riwayat hadits itu dapat kita ketahui hukum tajassus terhadap orang-orang kafir harbi musuh kaum muslimin (baik secara de facto maupun de jure) adalah wajib bagi negara Islam dan boleh (jaiz) mubah bagi kaum muslimin. Mengingat kegiatan tajassus merupakan perkara yang harus dilakukan oleh tentara kaum muslimin dalam rangka jihad fi sabilillah menghadapi tentara musuh, dan tidak sempurna struktur angkatan bersenjata kaum muslimin tanpa adanya badan pelaksana kegiatan tajassus (intelejen maupun kontra intelejen), maka pembentukan badan intelejen untuk angkatan bersenjata hukumnya wajib atas negara Islam. Ini berdasarkan kaidah syara: “Tidak sempurna suatu kewajiban tanpa adanya sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib”.

Maka jika dilihat dari sasaran kegiatan tajassus yang dilakukannya. Jika sasarannya adalah kaum muslimin, maka haram. Apapun alasannya. Bahkan jika dikhawatirkan rakyat (atau aktivis) melakukan perbuatan makar. Penanganan terhadap mereka cukup dengan polisi yang menjaga ketertiban umum dan mengambil tindakan untuk aktivitas yang nyata melanggar hukum. Namun jika sasarannya adalah pihak asing yakni warga maupun staf kedubes negara adikuasa yang ingin menguasai kaum muslimin, maka hukumnya adalah wajib atas negara dan petugas intelejen negara. 


Jadi  dalam kasus penyadapan oleh pihak Australia terhadap pejabat RI harusnya dipandang sebagai bentuk ancaman dan pelanggaran terhadap kedaulatan negara.Langkah kontra intelijen harus dilakukan, dan pemerintah harus tegas dengan mengambil keputusan-keputusan politik keamanan,politik ekonomi,maupun aspek lain yang menjadikan negara RI punya kedaulatan seutuhnya bukan lagi menjadi negara sahabat yang sejatinya adalah negara "satelit" mengorbit sesuai kepentingan negara kapitalis seperti Australia maupun sekutunya seperti Amerika.

(Wallahu a’lam)

Selasa, 19 November 2013

AL QUR'AN RUH KEBANGKITAN UMAT ISLAM

Generasi para sahabat Nabi disebut sebagai generasi manusia terbaik yang pernah terlahir di dunia ini sepanjang sejarah manusia (khaira ummatin ukhrijat linnas).Dalam Al-Qur’an wa tafsiruhu disebutkan bahwa munculnya generasi seperti ini setidaknya karena tiga faktor utama yaitu: Pertama, materi Al-Qur’an yang membawa nilai-nilai yang luhur. Kedua, sosok Nabi Muhammad yang paripurna sebagai pembawa amanat ilahi. Ketiga, panduan dari Allah yang selalu menyertai Nabi Muhammad dalam berdakwah. Tiga hal pokok inilah yang menjadikan agama Islam berkembang dengan sangat pesat di seluruh pelosok negeri dalam waktu yang relatif sangat singkat dalam sejarah dakwah para nabi.
Selain ketiga faktor di atas, ada hal lain yang mendukung kemunculan generasi khaira ummah tersebut, yakni kesiapan jiwa para sahabat radhiyallahu anhum untuk selalu berinteraksi dengan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Inilah kunci kebangkitan mereka. Ini pula kunci kebangkitan kita pada saat ini. Saat ini yang harus kita lakukan adalah mengembalikan maknawiyah ummat—termasuk kita di dalamnya—agar mau berinteraksi dengan Al-Qur’an sebagaimana generasi sahabat.

Ada tiga karakteristik generasi sahabat dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an.
Pertama, menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber utama.
Generasi sahabat mempersepsikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber dan landasan kehidupan. Adapun hadits adalah tafsir operasional dari sumber utama itu. Mereka mengenal peradaban Romawi, Yunani, Persia, India, dan China yang tercatat sebagai kebudayaan yang maju waktu itu. Bahkan peradaban Romawi dan Persia mendominasi Jazirah Arab dari utara dan selatan. Tetapi yang menjadi sumber dan acuan generasi sahabat hanyalah Al-Qur’an. Sehingga akal, wawasan, ideologi, dan orientasi mereka terbebas dari pengaruh luar yang tidak sesuai dengan manhaj Al-Qur’an.
Sementara generasi berikutnya telah mengalami pembauran sistem dan telah terkontaminasi berbagai polutan dalam memahami sumber utama. Seperti filsafat dan logika Yunani yang banyak mencemari pemikiran pemikir Islam, israiliyat Yahudi dan teologi Nasrani, serta berbagai kebudayaan dan peradaban asing, yang turut mencampuri penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga mengurangi kadar kejernihan pemikiran generasi berikutnya dalam memahami Al-Qur’an.

Kedua, menerima Al-Qur’an untuk diamalka.
Para sahabat menerima perintah dari Allah persis seperti seorang prajurit menerima perintah dari komandannya. Al-Qur’an diterima untuk diterapkan secara langsung dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Bukan ditujukan untuk menyingkap rahasia alam, sains, atau pengayaan materi-materi ilmiah. Karena Al-Qur’an bukan buku seni, sains, atau sejarah, sekalipun semuanya terkandung di dalamnya. Sesungguhnya ia diturunkan sebagai pedoman hidup.

Ketiga, Isolasi dari persepsi lama.
Selain menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber utama—yakni dengan membebaskan akal, wawasan, ideologi, dan orientasi dari pengaruh luar—para sahabat pun membersihkan jiwanya dari noda dan kotoran masa lalu di masa jahiliyyah dengan petunjuk Al-Qur’an. Mereka memulai hidup baru yang sama sekali berbeda dengan masa lalunya. Interaksinya dengan Al-Qur’an telah merubah total lingkungan, kebiasaan, adat, wawasan, ideologi, serta pergaulannya.

Saat ini ummat Islam baru menunaikan kewajibannya terhadap Al-Qur’an sebatas penjagaan dan pemeliharaan saja. Ummat Islam juga menaruh perhatian yang sangat besar dalam mengajarkan Al-Qur’an agar dibaca dan dihafalkan oleh anak-anak mereka. Apa yang mereka lakukan itu memang sudah merupakan pekerjaan besar. Namun belumlah cukup jika hanya berhenti sampai pada titik itu saja.
Membaca dan mendengar Al-Qur’an dengan Tadabbur
Merenungi (tadabbur) Al-Qur’an merupakan keharusan baik ketika membaca atau saat mendengarkannya. Itulah yang dulu diperbuat oleh para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka senantiasa membaca (tilawah) Al-Qur’an, merenungkan dan mengamalkannya. Mereka tidak beranjak dari satu ayat ke ayat lainnya, dari satu surat ke surat yang lainnya, kecuali setelah mereka benar-benar memahami dan mengamalkannya.
عَنْ أَبِى عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ حَدَّثَنَا مَنْ كَانَ يُقْرِئُنَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُمْ كَانُوا يَقْتَرِئُونَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَشَرَ آيَاتٍ فَلاَ يَأْخُذُونَ فِى الْعَشْرِ الأُخْرَى حَتَّى يَعْلَمُوا مَا فِى هَذِهِ مِنَ الْعِلْمِ وَالْعَمَلِ. قَالُوا فَعَلِمْنَا الْعِلْمَ وَالْعَمَلَ. (أحمد)
Riwayat dari Abi Abdul Rahman as-Sulamiy (seorang tabi’in), ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami orang yang dulu membacakan kepada kami yaitu sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka dulu mendapatkan bacaan (Al-Qur’an) dari Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh ayat, mereka tidak mengambil sepuluh ayat yang lainnya sehingga mereka mengerti apa yang ada di dalamnya yaitu ilmu dan amal. Mereka berkata, ‘Maka kami mengerti ilmu dan amal.’” (Hadits Riwayat Ahmad nomor 24197, dan Ibnu Abi Syaibah nomor 29929)
Oleh karena itu, para ulama pada masa lalu dijuluki dengan julukan Al-Qurra’ (orang yang banyak membaca Al-Qur’an). Arti membaca (qira’ah, tilawah) bukanlah sekedar membaca tanpa memahami maksud dan maknanya, sebagaimana banyak terjadi pada masa-masa sekarang ini. Akan tetapi Al-Qari’ (pembaca) adalah identik dengan Al-‘Alim (orang yang mengetahui). Dan Al-Qurra’ berarti para ulama dan para pakar hukum Islam.
Begitupula mendengarkan Al-Qur’an bukanlah sekedar mendengar atau hanya menikmati keindahan lagu dan suara merdu pembacanya. Akan tetapi mendengar disini harus disertai dengan merenungkan arti dan maksudnya.

Bagaimanakah kondisi manusia pada masa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam saat mendengar Al-Qur’an?
Allah SWT berfirman,
“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad s.a.w.).” (QS. Al-Maidah, 5: 83).
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: ‘Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu‘.” (QS. Al-Isra’, 17: 107 – 109).
“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat- ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang- orang yang tuli dan buta.” (QS. Al-Furqan, 25: 73)
“…dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfaal, 8: 2).
Begitulah mereka saat mendengar bacaan Al-Qur’an; mencucurkan air mata, menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, menangis dan bertambah khusyu, mendengar dengan penuh kesungguhan, sehingga bertambahlah iman mereka.
Bagaimanakah dengan kita?
Harus kita akui, cukup banyak di antara kita orang-orang yang apabila dibacakan Al-Qur’an, hatta yang mengandung ancaman-ancaman yang dahsyat, malah bersikap acuh-tak acuh; tidak terpengaruh, seolah-olah tidak mendengar sesuatu yang luar biasa.
Padahal pada masa lalu, ketika Al-Qur’an dibacakan kepada orang-orang Arab, ia mampu menggoncangkan dan merubah peradaban secara total. Orang-orang musyrik sangat takut terhadap Al-Qur’an walaupun hanya dibaca. Mereka menghalangi anak-anak dan wanita-wanita mereka agar tidak mendengar Al-Qur’an.
“Dan orang-orang yang kafir berkata: ‘Janganlah kamu mendengar Al Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka’.(QS. Fushilat, 41: 26).
Berinteraksilah dengan Al-Qur’an, Islam pasti jaya!
“Selama kaum Muslimin masih memegang Al-Qur’an di tangan mereka, maka Eropa tidak akan mampu mencengkramkan kekuasaannya di negeri-negeri Timur!”
Kalimat ini diungkapkan pada abad 18 oleh William Gladstone, PM Inggris zaman Ratu Victoria. Dari kata-katanya yang penuh kedengkian ini kita dapat memahami bahwa kekuatan kaum Muslimin sesungguhnya terletak pada sejauh mana komitmennya terhadap Al-Qur’an. Inilah kekuatan dahsyat yang menjadi kunci kebangkitan dan kejayaan mereka. Inilah kunci menuju kemenangan dan kemuliaan mereka. Sejarah telah berbicara sebagai fakta abadi; bahwa ummat ini dapat memperoleh izzahnya dengan Al-Qur’an. Dan merekapun Allah kerdilkan karena meninggalkan Al-Qur’an.
Renungkanlah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berikut:
اِنَّ اللّهَ يَرْفَعُ بِهَاذَاالكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ آخَرِيْنَ (مسلم)
“Sesungguhnya Allah, dengan kitab ini (Al-Qur’an) meninggikan derajat kaum-kaum dan menjatuhkan derajat kaum yang lain.” (HR. Muslim).

Oleh karena itu mereka yang rindu pada kebangkitan ummat Islam, harus segera membuka katup jiwanya dan memenuhinya dengan kesejukan Al-Qur’an. Biarlah ia mengalir mengisi relung-relung jiwa, menyegarkan iman, membersihkan pikiran, dan membuahkan amal. Mereka harus mengiringi langkah-langkahnya dengan kekuatan kalamullah, sebagaimana generasi pertama mereka memulai langkah-langkahnya dengan kekuatan itu.
Ingatlah kata-kata bijak Imam Malik, “Umat ini tidak akan jaya kecuali dengan cara pertama kali ia dijayakan genarasi awalnya.”
Tidak ada jalan untuk membangkitkan umat dari kelemahan dan ketertinggalan mereka selain dari kembali kepada Al Qur’an ini. Dengan menjadikannya sebagai panutan dan imam yang diikuti. Dan cukuplah Al Qur’an sebagai petunjuk.

BIOGRAFI SYEKH TAQIYUDDIN AN NABHANI PENDIRI HIZBUT TAHRIR

 

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang âlim allâmah (berilmu dan sangat luas keilmuannya). Beliau adalah pendiri Hizbut Tahrir. Nama lengkapnya adalah Syaikh Taqiyuddin bin Ibrahim bin Mushthafa bin Ismail bin Yusuf an-Nabhani. Nasab beliau bernisbat kepada kabilah Bani Nabhan, salah satu kabilah Arab Baduwi di Palestina yang mendiami kampung Ijzim, distrik Shafad, termasuk wilayah kota Hayfa di Utara Palestina.
Syaikh lahir di kampung Ijzim. Menurut pendapat yang paling kuat, beliau lahir pada tahun 1332 H – 1914 M. Beliau dilahirkan di gudang ilmu dan keagamaan yang terkenal dengan kewaraan dan ketakwaannya. Ayah beliau adalah Syaikh Ibrahim, seorang syaikh yang faqih dan bekerja sebagai guru ilmu-ilmu syariah di kementerian Pendidikan Palestina. Ibunda beliau juga memiliki pengetahuan yang luas tentang masalah-masalah syariah yang diperoleh dari ayahandanya, yaitu Syaikh Yusuf.
Syaikh Yusuf, seperti yang dimuat di dalam buku ­At-Tarâjum adalah: Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Hasan bin Muhammad an-Nabhani asy-Syafi‘i. Bliau seorang sastrawan, penyair dan sufi. Beliau juga termasuk qadhi senior. Beliau memangku jabatan sebagai qâdhî di Qishbah Jenin, termasuk provinsi Nablus. Beliau berpindah ke Konstantinopel. Lalu beliau diangkat menjadi qâdhî di Kiwi Sanjaq, termasuk provinsi Moushul. Berikutnya beliau menjabat sebagai kepala Mahkamah al-Jaza’ di Ladzaqiyah, kemudian di al-Quds. Lalu beliau menjabat kepala Mahkamah al-Huquq di Beirut. Beliau memiliki banyak karya yang jumlahnya mencapai 48 buah karya (buku).
Lingkungan tumbuh itu memberikan pengaruh besar kepada pembentukan kepribadian islami Syaikh Taqiyuddin. Beliau telah menghapalkan al-Qur’an seluruhnya pada usia belia sebelum genap berusia 13 tahun. Syaikh Taqiyuddin dipengaruhi oleh ketakwaan dan kesadaran kakek beliau dari pihak ibu dan mengambil banyak manfaat dari keilmuan sang kakek yang luas. Syaikh Taqiyuddin juga mendapatkan kesadaran politik pada usia yang sangat muda, khususnya dalam masalah-masalah politik penting. Sebab, kakek beliau memiliki penguasaan atas masalah-masalah politik karena hubungan dekatnya dengan para pejabat pemerintahan di Daulah Ustmaniyah. Syaikh Taqiyuddin juga mendapat faedah dari menghadiri majelis-majelis dan diskusi-diskusi fiqhiyyah yang diselenggarakan oleh kakek beliau, Syaikh Yusuf. Kecerdasan dan kejeniusan Taqiyuddin selama keikutsertaan beliau di majelis-majelis ilmu itu telah menarik perhatian sang kakek. Kakek beliau sangat manaruh perhatian terhadap hal itu. Sang kakek akhirnya meyakinkan ayahanda beliau akan pentingnya mengirim beliau untuk belajar di al-Azhar guna melanjutkan pendidikan syar‘i.
Keilmuan dan Pendidikan Beliau
Syaikh Taqiyuddin bergabung dengan Tsanawiyah al-Azhariyah pada tahun 1928. Beliau lulus pada tahun itu juga dengan peringkat excelent dan mendapat ijazah al-Ghuraba. Sesudah itu beliau melanjutkan ke Kuliyah Dar al-Ulum yang merupakan cabang al-Azhar. Pada saat yang sama beliau juga mengikuti halqah-halqah ilmiah di al-Azhar asy-Syarif, yaitu mengikuti halqah para syaikh yang ditunjukkan oleh kakek beliau, seperti Syaikh Muhammad al-Hadhari Husain rahimahullâh. Hal itu bisa beliau lakukan karena sistem pendidikan al-Azhar dulu membolehkan yang demikian. Meski Syaikh Taqiyuddin secara bersamaan menempuh pendidikan di al-Azhar dan di Darul Ulum, beliau tampak menonjol dan istimewa dalam keseriusan dan kesungguhan beliau. Hal itu menarik perhatian para sejawat dan pengajar beliau ketika mereka mengetahui kedalaman pemikiran, keunggulan pendapat dan kekuatan argumentasi beliau dalam berbagai diskusi dan dalam forum pemikiran yang memenuhi ma‘had-ma‘had keilmuan pada waktu itu di Kairo dan di negeri-negeri kaum Muslim lainnya.
Ijazah yang beliau peroleh adalah ijazah Tsanawiyah al-Azhariyah, ijazah al-Ghuraba’ dari al-Azhar, Diploma dalam bidang Bahasa dan Sastra Arab dari Universitas Darul Ulum di Kairo. Beliau juga mendapatkan ijazah dari Sekolah Tinggi Peradilan Syariah yang menjadi cabang dari al-Azhar, yaitu ijazah dalam masalah Peradilan. Kemudian beliau keluar dari al-Azhar pada tahun 1932 dan meraih ijazah al-Alamiyah—sekarang setingkat doktor—dalam masalah syariah.
Bidang-Bidang Aktivitas Beliau
Syaikh Taqiyuddin bekerja dalam bidang pengajaran syariah di kementerian pendidikan hingga tahun 1938. Pada tahun itu beliau beralih untuk beraktivitas di bidang peradilan syariah. Secara gradual beliau meniti karir di bidang peradilan syariah itu. Beliau memulainya dengan menjabat kepala sekretaris Mahkamah Haifa Pusat. Kemudian beliau naik jabatan menjabat asisten qadhi, kemudian menjabat qadhi Mahkamah Ramalah hingga tahun 1948. Pada tahun itu beliau keluar ke Syam akibat jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi. Pada tahun itu juga beliau kembali untuk menjabat qadhi Mahkamah Syariah al-Quds. Setelah itu, beliau diangkat menjadi qadhi di Mahkamah Banding Syariah (Mahkamah al-Isti’nâf asy-Syar’iyah) hingga tahun 1950. Kemudian beliau mengundurkan diri dan beralih untuk memberikan ceramah kepada para mahasiswa tingkat dua di Fakultas Ilmu Islam (Al-Kuliyah al-’Ilmiyah al-Islâmiyah) di Amman hingga tahun 1952. Beliau—rahimahullâh—bagaikan samudera ilmu. Beliau adalah seorang yang sangat luas pengetahuan-nya dalam berbagai bidang keilmuan. Beliau adalah mujtahid mutlaq sekaligus seorang pembicara yang memiliki argumentasi yang kuat.
Karya-Karya Beliau
1. Nizhâm al-Islâm (Peraturan Hidup Islam).
2. At-Takattul al-Hizbiy (Pembentukan Partai Politik).
3. Mafâhîm Hizb at-Tahrîr (Konsepsi-Konsepsi Hizbut Tahrir).
4. Nizhâm al-Iqtishâd fî al-Islâm (Sistem Ekonomi Islam).
5. Nizhâm al-Ijtimâ‘i fî al-Islâm (Sistem Pergaulan Islam).
6. Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm (Sistem Pemerintahan Islam).
7. Ad-Dustûr (Konstitusi).
8. Muqaddimah ad-Dustûr (Pengantar Konstitusi).
9. Ad-Dawlah al-Islâmiyah (Negara Islam).
10. Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah (Kepribadian/Jati Diri Islam) tiga juz.
11. Mafâhîm Siyâsiyah li Hizb at-Tahrîr (Konsepsi-Konsepsi Politik Hizbut Tahrir).
12. Nazharât Siyâsiyah (Pandangan-Pandangan Politik).
13. Nidâ’ Hâr (Seruan Hangat).
14. Al-Khilâfah (Khilafah).
15. At-Tafkîr (Hakikat Berpikir).
16. Sur‘ah al-Badîhah (Kecepatan Berpikir).
17. Nuqthah al-Inthilâq (Titik Tolak).
18. Dukhûl al-Mujtama’ (Terjun ke Masyarakat).
19. Tasalluh Mishra (Peningkatan Kekuatan Senjata Mesir).
20. Al-Ittifâqiyât ats-Tsinâ’iyah al-Mishriyah as-Sûriyah wa al-Yamaniyah (Kesepakatan-kesepakatan Bilateral Mesir-Suriah dan Mesir-Yaman).
21. Hall Qadhiyah Filisthîn ’alâ ath-Tharîqah al-Amirikiyah wa al-Inkilîziyah (Solusi Masalah Palestina ‘ala Amerika dan Inggris).
22. Nazhariyah al-Firâgh as-Siyâsî Hawla Masyrû‘ Ayzinhâwir (Pandangan Kevakuman Politis Seputar Proyek Izenhouwer).
Di samping itu, beliau menulis ribuan leaflet pemikiran, politik dan ekonomi. Beliau juga mengeluarkan sejumlah buku menggunakan nama anggota Hizbut Tahrir untuk memudahkan distribusinya. Hal itu setelah adanya undang-undang yang melarang pendistribusian buku-buku beliau. Di antara buku itu adalah:
1. As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah al-Mutslâ (Politik Ekonomi Yang Agung).
2. Naqdh al-Isytirâkiyah al-Maraksiyah (Kritik atas Sosialisme-Marxis).
3. Kayfa Hudimat al-Khilâfah (Bagaimana Khilafah Dihancurkan).
4. Ahkâm al-Bayyinât (Hukum-hukum Pembuktian).
5. Nizhâm al-‘Uqûbât (Sistem Sanksi dan Pidana).
6. Ahkâm ash-Shalâh (Hukum-hukum Shalat).
7. Al-Fikr al-Islâmiy (Pemikiran-Pemikiran Islam).
Sebelum mendirikan Hizbut Tahrir, beliau telah mengeluarkan buku Inqâdz Filizthîn (Membebaskan Palestina) dan Risâlah al-‘Arab (Misi Arab).
Sifat-Sifat dan Akhlak Beliau
Ustadz Zuhair Kahalah, yang bekerja sebagai direktur administratif Fakultas Ilmu-ilmu Islam (Al-Kuliyah al-‘Ilmiyah al-Islâmiyah) yang senantiasa menyertai Syaikh Taqiyuddin sejak beliau menginjakkan kaki di Fakultas, pernah berkata, “Syaikh Taqiyuddin adalah seorang yang adil dan lurus, mulia dan bersih. Beliau adalah seorang yang mukhlis, memiliki energi yang eksplosif. Beliau sangat marah dan sekaligus sedih terhadap apa yang menimpa umat akibat ditanamkannya institusi Yahudi di jantung umat.
Beliau memiliki perawakan sedang, berbadan tegap, penuh semangat, tidak temperamental, ahli dalam berdebat, memiliki argumentasi yang kuat, dan berpegang teguh dengan apa yang beliau yakini adalah haq. Beliau mempunyai jenggot yang sedang dan sebagiannya sudah memutih. Beliau memiliki kepribadian yang kuat, sangat berpengaruh (berwibawa) saat berbicara, dan meyakinkan saat memaparkan argumentasi. Beliau tidak menyukai disia-siakannya tenaga, kembali atas dasar materi, dan isolasi dari kemaslahatan umat. Beliau juga tidak suka seseorang lebih tersibukkan oleh perkara-perkara kehidupan pribadinya. Beliau berjuang demi kebaikan umat sebagai implementasi terhadap sabda Rasul Saw:
«مَنْ لَمْ يَهْتَمْ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ»
Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslim maka ia bukan bagian dari kaum Muslim.
Beliau termasuk orang yang banyak mengulang-ulang dan menukil sabda Rasul saw itu. Beliau juga berbela sungkawa terhadap (menyayangkan sikap) Imam al-Ghazali penulis buku Al-Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, yang membiarkan saja kaum salibis menyerang negeri-negeri Islam, sementara ia mencukupkan diri berdiam di masjid mengarang buku-bukunya.
Pendirian Hizbut Tahrir dan Perjalanan Beliau di Dalamnya
Syaikh Taqiyuddin mulai mengkaji secara mendalam dan menaruh perhatian besar pada partai-partai, gerakan-gerakan dan organisasi-organisasi yang tumbuh sejak abad keempat hijriah. Beliau mengkaji secara mendalam cara-cara, pemikiran-pemikiran dan sebab-sebab penyebarannya ataupun kegagalannya. Beliau mengkaji partai-partai itu karena kesadaran beliau akan wajib adanya kelompok islami yang beraktivitas mewujudkan kembali Khilafah. Setelah penghancuran Khilafah melalui tangan seorang penjahat Mustafa Kamal (Attaturk) kaum Muslim belum mampu mewujudkan kembali Khilafah meski ada banyak organisasi islami yang berjuang pada waktu itu.
Ketika muncul negara Israel pada Mei 1948 di tanah Palestina, dan tampak kelemahan Arab di hadapan kelompok-kelompok kecil orang Yahudi anak asuh mandatori Inggris di Yordania, Mesir dan Irak; semua itu mempengaruhi/merangsang penginderaan Syaikh Taqiyuddin. Lalu Syaikh mulai mengkaji sebab-sebab hakiki yang dapat membangkitkan kaum Muslim. Beliau menuliskan hal itu di dua risalah yaitu Risâlah al-’Arab (Misi Arab) dan Inqâdz Filishthîn (Membebaskan Palestina); keduanya beliau keluarkan pada tahun 1950 M.
Pada saat beliau beralih beraktivitas di bidang peradilan, beliau mulai menjalin kontak dengan para ulama yang beliau kenal dan beliau jumpai saat bersama-sama di Mesir. Beliau mengajukan kepada mereka ide pendirian partai politik yang berlandaskan Islam untuk membangkitkan kaum Muslim dan mengembalikan kemuliaan dan keagungan mereka. Dalam upaya mengajukan ide tersebut, beliau berpindah-pindah di antara kota-kota di Palestina. Beliau mengajukan satu perkara yang telah mencapai kematangan dalam pemikiran beliau kepada pribadi-pribadi yang menonjol di antara para ulama dan pioner pemikiran. Untuk itu, beliau menyelenggarakan berbagai forum. Beliau mengumpulkan para ulama dari berbagai kota di seluruh penjuru Palestina. Pada forum-forum itu beliau berdiskusi dengan para ulama tentang metode kebangkitan yang sahih. Beliau banyak berdiskusi dengan para aktivis berbagai kelompok dan partai-partai politik, partai-partai nasionalis dan patriotis. Beliau menjelaskan kepada mereka kesalahan jalan mereka dan kemandulan aktivitas mereka. Beliau juga memaparkan banyak masalah politik dalam ceramah-ceramah beliau dalam berbagai acara keagamaan di Masjid al-Aqsha, Masjid Ibrahim al-Khalil dan masjid-masjid lainnya. Dalam ceramah-ceramah itu, beliau menyerang sistem-sistem di Arab dengan mengatakan bahwa sistem-sistem itu adalah buatan para penjajah Barat dan sarana mereka untuk melanggengkan cengkeraman mereka terhadap negeri-negeri kaum Muslim. Di samping itu, beliau juga membongkar rencana-rencana politik negara-negara Barat. Beliau mengekspos niat busuk Barat untuk menentang Islam dan kaum Muslim. Beliau memahamkan kaum Muslim akan kewajiban mereka dan menyeru mereka untuk berpartai berlandaskan Islam.
Syaikh Taqiyuddin pernah maju dan mencalonkan diri untuk menjadi anggota parlemen. Karena sikap beliau yang lurus, kegiatan politis dan aktivitas beliau yang penuh kesungguhan untuk mendirikan partai politik yang berideologi Islam, karena sikap beliau yang berpegang secara kuat pada Islam, serta karena intervensi negara terhadap hasil Pemilu, maka hasil Pemilu tidak berpihak pada kemenangan beliau.
Kegiatan politik Syaikh Taqiyuddin tidak berhenti. Tekad beliau juga tidak padam. Beliau terus menjalin kontak dan berdiskusi sampai beliau mampu meyakinkan sejumlah orang —para ulama, qadhi terkemuka, serta mereka yang memiliki politik dan pemikiran yang menonjol— tentang pendirian partai politik berasaskan Islam. Lalu beliau mulai mengajukan kepada mereka kerangka kepartaian dan pemikiran-pemikiran yang mungkin dijadikan bekal tsaqâfiyah bagi partai itu. Pemikiran-pemikiran beliau itu mendapatkan ridha dan penerimaan dari para ulama tersebut. Puncak aktivitas politik beliau adalah dengan mendirikan Hizbut Tahrir.
Syaikh mulai beraktivitas untuk membentuk partai di kota al-Quds. Pada saat itu beliau bekerja di Mahkamah al-Istinaf asy-Syar‘iyah (Mahkamah Banding Syariah) di kota tersebut. Beliau menjalin kontak dengan beberapa tokoh di sana, di antaranya Syaikh Ahmad ad-Daur dari Qalqiliyah, Nimr al-Mishri dari al-Lad, Dawud Hamdan dari Ramalah, Syaikh Abdul Qadim Zallum dari kota al-Khalil, Dr. ‘Adil an-Nablusi, Ghanim Abduh, Munir Syaqir, Syaikh As’ad Bayoudh at-Tamimi, dan lain-lain.
Pada awalnya, pertemuan di antara para pendiri Hizbut Tahrir itu berlangsung secara acak dan tidak teratur. Mayoritasnya dilakukan di al-Quds atau di al-Khalil. Pertemuan itu dilakukan untuk saling bertukar pendapat dan untuk menarik orang-orang baru. Diskusi yang berlangsung terfokus pada masalah-masalah keislaman yang mempengaruhi kebangkitan umat. Kondisi ini terus berlangsung seperti itu hingga akhir tahun 1952 M.
Pada tanggal 17 November 1952 M, lima orang anggota pendiri Hizb menyampaikan permintaan resmi kepada Kementerian Dalam Negeri Yordania dengan maksud untuk mendapatkan izin pendirian partai politik. Kelima orang itu adalah:
1. Taqiyuddin an-Nabhani, Pemimpin Partai.
2. Dawud Hamdan, Wakil Ketua merangkap Sekretaris Partai.
3. Ghanim Abduh, Bendahara Partai.
4. Dr. Adil an-Nablusi, anggota.
5. Munir Syaqir, anggota.
Kemudian Hizb melengkapi syarat-syarat perundang-undangan yang dituntut oleh Undang-Undang Jam’iyah Utsmani. Hizb berpusat di al-Quds. Hizb mulai menyampaikan informasi dan pemberitahuan sesuai dengan undang-undang. Hizb menyampaikan penjelasan pendirian partainya kepada pemerintah dan melampirkan Anggaran Dasar Partai. Hizb juga menyiarkan status pendiriannya di Koran Ash-Sharîh no. 176, tanggal 14 Maret 1952 M. Dengan semua itu, Hizbut Tahrir telah menjadi partai resmi menurut undang-undang terhitung sejak hari Sabtu 28 Jumada ats-Tsaniyah 1372 H, bertepatan tanggal 14 Maret 1953 M. Sejak saat itu Hizb memiliki wewenang untuk langsung melaksanakan kegiatan kepartaiannya dan berhak melaksanakan semua aktivitas kepartaian yang dinyatakan di dalam angaran dasarnya. Hal itu sesuai dengan Undang-undang Jam‘iyah Utsmani yang masih berlaku saat itu.
Namun, pemerintah memanggil lima orang pendiri Hizb dan menangkap empat orang dari mereka. Kemudian pemerintah mengeluarkan penjelasan bertanggal 7 Rajab 1372 H – 22 Maret 1953 M yang menganggap Hizbut Tahrir adalah tidak legal dan melarang para aktivis Hizb untuk melakukan kegiatan kepartaian apapun. Pada tanggal 1 April 1953 M, penguasa memerintahkan pencopotan papan nama Hizbut Tahrir yang digantungkan di kantor Hizb di al-Quds, kemudian pemerintah benar-benar menanggalkannya.
Hanya saja, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tidak memperhitungkan larangan itu sama sekali. Beliau terus melangkahkan kaki dalam mengemban misi yang untuk itu Hizbut Tahrir didirikan. Ketika Dawud Hamdan dan Nimr al-Mishri keluar dari kepemimpinan (Qiyadah) Hizb pada tahun 1956 M, posisinya digantikan oleh Syaikh Abdul Qadim Zalum dan Syaikh Ahmad ad-Daur. Akhirnya, kepemimpinan Hizb terdiri dari para ulama besar itu di bawah kepemimpinan Al-’Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Qiyadah Hizb itu telah melaksanakan tugas-tugas dakwah dengan sebaik-baiknya. Semua itu berkat karunia dan keridhaan dari Allah SWT.
Dari wilayah al-Aqsha, Hizbut Tahrir mulai melakukan pembinaan umum (tatsqîf jamâ‘i) untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam. Hizb memperlihatkan kegiatan yang luas sehingga memaksa penguasa mengambil langkah-langkah yang kuat untuk melarang (menghalangi) Hizb membentuk dirinya dan memperkuat organisasinya. Syaikh an-Nabhani terpaksa harus meninggalkan al-Quds pada akhir tahun 1953 secara suka rela. Namun, Beliau dilarang kembali lagi (ke al-Quds).
Pada bulan November 1953 M, Syaikh an-Nabhani terpaksa melakukan perjalanan ke Damaskus. Beliau tinggal di sana hanya sebentar. Pemerintah Suriah menangkap beliau dan mendeportasi beliau di perbatasan Suriah-Lebanon. Namun, pemerintah Lebanon juga melarang beliau untuk memasuki tanah Lebanon. Beliau lalu meminta kepada pejabat kantor kepolisian Lebanon di Wadi al-Harir agar mengizinkan beliau melakukan kontak dengan seseorang di Lebanon yang beliau kenal. Lalu pejabat keamanan Lebanon itu mengizinkan Syaikh an-Nabhani melakukan kontak dengan sejawat beliau. Syaikh an-Nabhani meminta sejawat beliau itu agar menghubungi Mufti Syaikh Hasan al-’Alaya, mufti Lebanon. Ketika berita itu sampai kepada Syaikh al-’Alaya, maka beliau segera pergi kepada pejabat Lebanon dan memerintahkannya untuk langsung memasukkan Syaikh an-Nabhani ke tanah Lebanon. Jika tidak, Syaikh al-’Alaya akan menyebarkan berita itu di seluruh penjuru negeri yang mengklaim demokratis tetapi melarang seorang ulama agama Islam untuk menginjakkan kedua kakinya di tanah Lebanon. Tidak ada pilihan bagi penguasa Lebanon kecuali tunduk dan menerima perintah mufti Lebanon tersebut.
Sejak Syaikh Taqiyuddin berada di Lebanon, beliau mulai menyebarkan pemikiran-pemikiran beliau di sana. Beliau terus melakukan hal itu tanpa gangguan hingga kira-kira tahun 1958 ketika penguasa Lebanon mulai menekan beliau setelah mereka menyadari bahaya pemikiran-pemikiran beliau terhadap mereka. Akibatnya, Syaikh terpaksa berpindah dari Beirut ke Tripoli/Tarablus (Lebanon) secara sembunyi-sembunyi. Salah seorang yang dekat dengan beliau dan dapat dipercaya mengatakan, “Syaikh menghabiskan sebagian besar waktu beliau untuk membaca dan menulis. Radio sering berada di hadapan beliau dan beliau mendengarkan berita-berita dunia agar beliau bisa menuliskan leaflet-leaflet politik yang kuat. Syaikh adalah seorang yang takwa dalam seluruh maknanya, lembut dalam pandangan dan lisannya. Saya belum pernah mendengar satu hari pun beliau mencaci, mencela atau melecehkan seorang pun dari kaum Muslim; khususnya pengemban dakwah Islam meski mereka berbeda ijtihad (pendapat) dengan beliau.
Aktivitas thalab an-nushrah (penggalangan dukungan) Syaikh yang pertama adalah di Irak dan beliau sangat menaruh perhatian terhadapnya. Syaikh melakukan perjalanan ke Irak beberapa kali untuk tujuan tersebut. Bersama Syaikh Abdul Qadim Zallum (Abu Yusuf) yang saat itu ditugaskan di sana, Syaikh Taqiyuddin melakukan beberapa kontak penting, di antaranya kontak dengan almarhum Abdus Salam Arif dan yang lain. Perjalanan beliau yang lain adalah perjalanan beliau sebelum beliau wafat. Saat itu beliau ditangkap di Irak. Beliau banyak disiksa di sana, namun berbagai siksaan yang ditimpakan interogator itu tidak mendapatkan hasil. Semua yang Syaikh katakan adalah perkataan mengenalkan dirinya sendiri: “seorang syaikh yang sedang mencari solusi”. Lalu mereka merasa iba kepada Syaikh. Kemudian mereka mendeportasi beliau melalui perbatasan Suriah dalam keadaan tangan beliau lumpuh. Beliau sangat lemah akibat keras dan jahatnya siksaan yang dilakukan para thâghût itu kepada beliau. Pendeportasian beliau melalui perbatasan Suriah itu terjadi sebelum intelijen Yordania mendatangi pihak keamanan Irak dan mengatakan kepada mereka, “Orang yang kalian tangkap adalah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani yang sedang kalian cari-cari.” Akan tetapi, kesempatan itu telah hilang. Segenap pujian hanya milik Allah.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani telah mendirikan Hizbut Tahrir di atas kaki-kaki yang kokoh. Jarak ke arah tercapainya tujuan tinggal sejauh dua anak panah atau lebih dekat. Akan tetapi, bagi setiap sesuatu telah ditentukan batas waktunya (ajalnya).
Pada awal Muharram 1398 H, pada saat fajar hari Ahad bertepatan dengan tanggal 11 Desember 1977 M, umat Islam seluruhnya telah kehilangan seorang ulama di antara ulama mereka yang paling menonjol. Ia bagaikan samudera ilmu; orang yang paling terkenal di antara para fukaha pada masanya, seorang mujadid (pembaharu) pemikiran Islam abad XX, seorang fakih, mujtahid. Ia adalah al-Alim al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, amir Hizbut Tahrir, sekaligus pendirinya. Jenazah beliau dimakamkan di pemakaman al-Awza’i di Beirut. Allah mewafatkan beliau, sementara beliau belum mencicipi buah aktivitas beliau —yang untuk itulah beliau mencurahkan seluruh umurnya— yaitu berdirinya Daulah Khilafah Rasyidah yang berjalan berdasarkan metode kenabian. Beliau meninggalkan amanah bagi pengganti sekaligus rekan seperjuangan beliau, yaitu Al-’Alim al-Kabîr Syaikh Abdul Qadim Yusuf Zallum. Beliau pun tidak menyaksikan tujuan yang telah beliau perjuangkan dengan segenap daya untuk merealisasikannya. Namun, seluruh kesungguhan upaya beliau telah membuahkan hasil: jutaan orang telah bergabung di dalam Hizbut Tahrir dan mengemban pemikiran-pemikirannya, di samping adanya jutaan lainnya yang mendukung Hizb. Para aktivis Hizb telah tersebar di seluruh penjuru dunia dan di banyak penjara para penguasa kufur, para thâghût, dan para penguasa zalim.

Senin, 18 November 2013

APBN 2014 BEBANI RAKYAT

Andai saja pemerintah mau berusaha, tak perlu rakyat yang terbebani.
Rapat paripurna DPR RI akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang APBN 2014 untuk disahkan menjadi undang-undang, akhir Oktober lalu.
Asumsi makro APBN 2014 yang telah disepakati antara lain pertumbuhan ekonomi 6,0 persen, laju inflasi 5,5 persen, nilai tukar rupiah Rp 10.500 per dolar AS, dan tingkat bunga Surat Perbendaharaan Negera (SPN) 3 bulan 5,5 persen.
Kemudian, harga ICP minyak 105 dolar AS per barel, lifting minyak 870 ribu barel per hari, serta lifting gas 1.240 ribu barel per hari setara minyak.
Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan seluruh asumsi makro untuk APBN 2014, terutama pertumbuhan ekonomi enam persen, telah mempertimbangkan kondisi perekonomian global yang diperkirakan masih bergejolak tahun depan.
Dalam APBN 2014, pendapatan negara disepakati sebesar Rp 1.667,1 trilyun dan belanja negara senilai Rp 1.842,5 trilyun dengan defisit anggaran tercatat sebesar Rp 175,4 trilyun atau 1,69 persen terhadap PDB.
Sumber pembiayaan defisit anggaran tersebut berasal dari pembiayaan utang sebesar Rp 185,1 trilyun serta pembiayaan non utang sebesar negatif Rp 9,7 trilyun.
Dari pendapatan negara, penerimaan perpajakan ditargetkan sebesar Rp 1.280,4 trilyun, dengan penerimaan pajak penghasilan ditetapkan senilai Rp 586,3 trilyun, penerimaan PPN sebesar Rp 493 trilyun dan cukai Rp 116,2 trilyun.
Selain itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ditetapkan sebesar Rp 385,3 trilyun yang diantaranya berasal dari penerimaan sumber daya alam Rp 226 trilyun, pendapatan laba BUMN Rp 40 trilyun dan PNBP lainnya Rp 94 trilyun.
Sedangkan dari belanja negara, pagu belanja pemerintah untuk tahun anggaran 2014 disepakati sebesar Rp 1.249,9 trilyun (70 persen) dan transfer ke daerah senilai Rp 592,5 trilyun (30 persen).
Belanja pemerintah pusat terdiri atas belanja pegawai yang ditetapkan sebesar Rp 263,9 trilyun, belanja barang senilai Rp 201,8 trilyun, belanja modal Rp 205,8 trilyun serta pembayaran bunga utang Rp 121,2 trilyun.
Kemudian, belanja subsidi energi disepakati sebesar Rp 282,1 trilyun yang terdiri atas subsidi BBM Rp 210,7 trilyun dan subsidi listrik Rp 71,4 trilyun dengan kuota BBM bersubsidi ditetapkan sebesar 48 juta kiloliter.
Bebani Rakyat
Menariknya, pendapatan terbesar untuk pembelanjaan negara ini didapatkan dari pajak yakni sebesar 84 persen. Jumlah ini meningkat dibandingkan pendapatan pajak pada 2010 sebesar 78 persen.
Dapat diduga, pemerintah akan mencari jalan untuk ‘memeras’ rakyat agar mau membayar pajak.  Direktur Jenderal Pajak, Fuad Rahmany mengatakan akan melakukan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi sebagai upaya untuk mengejar penerimaan pajak yang ditargetkan itu.
“Kita intinya pada kepatuhan. Kepatuhan kita lihat dari yang sudah membayar pajak tapi belum sebagaimana mestinya, kita kejar lewat program intensifikasi, dan yang belum membayar pajak sama sekali, itu kita kejar lewat program ekstensifikasi,” ujarnya.
Pemerhati masalah sosial Sumatera Utara,  Irwan Daulay seperti dikutip Waspada Online, mengatakan, rakyatlah yang harus berjuang keras untuk memenuhi target APBN tersebut adalah usaha keras rakyat yang ditagih dari kewajibannya membayar pajak.
Di sisi lain alokasi belanja ternyata lebih banyak untuk kementerian dan lembaga di pemerintah pusat. Sementara transfer ke daerah hanya 30 persen saja.
Yang menyedihkan adalah alokasi APBN untuk membayar bunga utang. Jumlah yang harus dibayar sebesar Rp 121,2 trilyun. Padahal, bunga itu haram. Uang sebesar itu seharusnya bisa digunakan untuk kebutuhan rakyat.
Anehnya, pemerintah tak mau berusaha meningkatkan pendapatan dari kekayaan alam yang ada. Pemerintah lebih senang utang. Pemerintah pusat pada tahun 2014 berencana utang sebanyak Rp 345 trilyun. Senilai Rp 205 triliun ditarik melalui penerbitan surat berharga negara guna menutup defisit fiskal tahun 2014. Sisanya sekitar Rp 140 trilyun adalah utang untuk melunasi utang yang jatuh tempo.  Inilah gali lubang tutup lubang.
Padahal, kata Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, seharusnya pemerintah bisa mendapatkan pendapatan dari royalti dan pajak dari sektor pertambangan, minyak dan gas, batubara, dan nikel. Ia memperkirakan, kerugian keuangan negara hingga Rp 7.200 trilyun setiap tahun.
Jika ditotal, pajak dan royalti yang harus dibayarkan dari blok migas, batubara, dan nikel, di setiap tahunnya, kata Samad, dapat mencapai Rp 20.000 trilyun. Belum termasuk tambang emas dan tembaga, karena kedua jenis tambang itu tak disebutnya. “Bila dibagi ke seluruh rakyat, maka pendapatan rakyat Indonesia per bulan bisa mencapai Rp 20 juta,” ujarnya.
Inilah negara pemalak rakyat. (mediaumat.com, 12/11/2013)

sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2013/11/12/apbn-2014-peras-rakyat/