Pelayanan Kesehatan adalah Kewajiban Negara
Kebangkitanumatislam: Harapan warga miskin untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak nampaknya masih jauh. Itulah
yang dialami Elisa Darawati, seorang warga tidak mampu di Jakarta yang
harus menerima kenyataan setelah salah satu putri kembarnya yang baru
lahir meninggal akibat penyakit yang dideritanya. Bayi yang lahir
prematur tersebut didiagnosa mengalami gangguan pada tenggorokannya. Apa
daya setelah 10 rumah sakit di yang didatanginya tidak ada satupun yang
bersedia merawat dengan alasan penuh! Bayi malang itupun akhirnya
meninggal.
Beberapa jam kemudian pihak Menkes membantah terjadinya penolakan
dari pihak rumah sakit terhadap Elisa. Menurutnya semua rumah sakit yang
didatangi Elisa memang telah penuh. “Jadi, bukan karena dia ditolak di
mana-mana, tapi karena kondisinya buruk. Kalau anak berat 1 kg memang survival-nya
kecil sekali,” jelas Menkes Nafsiyah Mboi. Ia juga berjanji akan
memperbaiki sistem komunikasi antar RS sehingga tidak muncul kejadian
seperti Elisa yang berkeliling-keliling membawa putrinya yang sakit
parah.
Pihak Kemenkes juga membantah terjadinya diskriminasi terhadap warga
miskin seperti Elisa. “Tidak diterimanya rujukan pasien tersebut
disebabkan keterbatasan alat, dalam hal ini fasilitas ruang NICU, bukan
karena pasien membawa Kartu Jakarta Sehat (KJS),” kata Kepala Pusat
Komunikasi Publik Kemenkes Murti Utami dalam siaran persnya, Senin
(18/2). Gubernur DKI Jokowi juga menyatakan penuhnya kamar perawatan
neonatal intensive care unit (NICU) dikarenakan terjadinya lonjakan
jumlah anak penderita hingga 70 persen.
Rendahnya Anggaran Kesehatan
Meski sudah berganti rezim berkali-kali akan tetapi mutu pelayanan
kesehatan bagi masyarakat, khususnya warga miskin, masih jalan di
tempat. Di sana-sini keluhan warga miskin yang kesulitan mendapatkan
pelayanan kesehatan termasuk saat berobat ke rumah sakit masih saja
sering terdengar.
Rendahnya pelayanan kesehatan terhadap warga juga tampak dari masih
banyak kaum ibu yang memilih meminta bantuan dukun beranak untuk proses
persalinan ketimbang ke bidan atau ke dokter karena ketiadaan biaya.
Tidak heran bila angka kematian bayi juga masih tinggi.
Pelayanan kesehatan harus dipahami bukan sekedar pelayanan kepada
warga yang sakit, tapi juga terjaminnya kesehatan masyarakat secara
menyeluruh. Dalam hal ini layanan yang diperoleh masyarakat jauh lebih
rendah lagi.
Menurut Laporan Akhir Tahun 2012 Komnas Perlindungan Anak Indonesia,
ada sekitar 8 juta anak Indonesia yang mengalami gizi buruk. Padahal
gizi buruk sudah pasti akan berdampak pada pertumbuhan anak, di
antaranya adalah anak akan tumbuh sebagai orang pendek (stunting). Indonesia merupakan negara kelima dengan jumlah orang pendek (stunting)
paling banyak di dunia, selain Tiongkok, India, Pakistan, Nigeria dan
bahkan di atas Vietnam. WHO mencatat 90% anak pendek ada di 36 negara
berkembang, termasuk Indonesia.
Buruknya pelayanan kesehatan masyarakat khususnya warga miskin karena
memang pemerintah tidak pernah memberikan anggaran yang memadai. Dari
total Produk Domestik Bruto (GDP), alokasi biaya untuk pendidikan dan
kesehatan Indonesia paling rendah dari negara lain yaitu 2%. Sedangkan
Kamboja 4%, Laos mendekati 5%, Malaysia 10%, Philipina 15% dan Thailand
hampir 7%.
Anehnya, pemerintah lebih senang mengalokasikan anggaran besar untuk
membayar hutang luar negeri ketimbang untuk biaya kesehatan, yaitu
sebesar 10%. Jumlah itu lebih tinggi dari negara lain, seperti Kamboja
kurang dari 1%, Laos 3%, Malaysia 8%.
Minimnya belanja kesehatan masyarakat oleh pemerintah juga terasa di
daerah-daerah. Koordinator Penelitian dan Pengembangan Seknas Fitra,
Muhammad Maulana menjelaskan, proporsi belanja daerah untuk urusan
kesehatan memang masih rendah. Padahal, pemerintah telah mensyaratkan
untuk menganggarkan minimal 10 persen belanja daerah untuk kesehatan.
Tata Kelola Amburadul
Persoalan pelayanan kesehatan bagi masyarakat bertambah ruwet dengan
tidak adanya transparansi dan amburadulnya pengelolaan. Banyak bidan dan
rumah sakit yang mengeluhkan kesulitan mencairkan dana jampersal
(jaminan persalinan kelahiran) selain juga di sejumlah daerah terjadi
pemotongan dana jampersal yang mereka terima. Akibatnya terjadi
penolakan pelayanan Jampersal bagi warga miskin di sejumlah daerah.
Ditengarai karena ada beberapa pemda yang justru mengendapkan dana
Jampersal, selain juga terjadi salah peruntukkan bukan bagi warga
miskin. Padahal anggaran yang disiapkan pemerintah untuk jampersal cukup
tinggi. Untuk tahun 2013 saja sudah dianggarkan sebesar Rp 7 triliun.
Setiap ibu melahirkan akan mendapat bantuan sebesar 600 ribu rupiah.
Selain jampersal, banyak rumah sakit di daerah yang kesulitan
mencairkan dana bantuan kesehatan bagi warga miskin meski mereka sudah
lama mengajukan klaim. Akhirnya mereka menghentikan layanan bagi warga
miskin. Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang, Jawa Timur, pada 2 Juli
2012, telah menghentikan pelayanan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda)
untuk warga miskin di Kabupaten Malang. Alasannya, pemerintah daerah
setempat masih nunggak utang pembayaran Jamkesda sebesar Rp 10 miliar.
Yang paling mengejutkan pemerintah justru tengah membuka kran
liberalisasi dalam sektor kesehatan. Adalah Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM) yang akan menjadi pemimpin dalam proses liberalisasi sektor
kesehatan tersebut. Ditandai dengan rencana dibukanya investasi di
sektor kesehatan yakni kepemilikan asing dalam rumah sakit diperbesar
dari sebelumnya hanya 49% menjadi hingga 67%. Kepala BKPM kala itu, Gita
Wirjawan mengatakan dengan banyak dibukanya RS asing di dalam negeri
maka diharapkan jumlah warga Indonesia yang berobat ke luar negeri kian
berkurang, karena memilih berobat di dalam negeri.
Tidak hanya itu, sejumlah RS juga sudah diprivatisasi. Tiga RS milik
Pemprov DKI Jakarta, masing-masing RSUD Pasar Rebo, RSUD Cengkareng, dan
RS Haji Pondok Gede, telah diprivatisasi dengan ditandatanganinya
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 15/2004 oleh Sutiyoso pada 10
Agustus 2004. Itu berarti sejak penandatanganan tersebut, tiga RS itu
tidak lagi menerima subsidi dari Pemprov DKI. Mereka harus membiayai
keperluannya sendiri. Maka bisa dibayangkan dengan begitu mereka akan
mengeruk pendapatan sebesar-besarnya dari pasien.
Anggaran kesehatan yang rendah, privatisasi RS milik pemerintah,
dibukanya kran masuknya RS asing, semua itu menunjukkan negara berlepas
tangan dari memberikan pelayanan kesehatan untuk rakyatnya. Tampaknya
memberikan pelayanan kesehatan tidak lagi dianggap sebagai tanggungjawab
apalagi kewajiban negara dan merupakan hak rakyat. Sebaliknya negara
memposisikan sebagai penyedia jasa dan rakyat sebagai konsumen dengan
hubungan dagang.
Pelayanan Kesehatan Kewajiban Negara
Dalam Islam, kebutuhan akan pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan
dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negaraKlinik dan rumah sakit
merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh kaum Muslimin dalam
terapi pengobatan dan berobat. Maka jadilah pengobatan itu sendiri
merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik. Kemaslahatan dan fasilitas
publik (al-mashâlih wa al-marâfiq) itu, wajib bagi negara
melakukannya sebab keduanya termasuk apa yang diwajibkan oleh ri’ayah
negara sesuai dengan sabda Rasul saw:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar)
Ini adalah nas yang bersifat umum atas tanggungjawab negara tentang
kesehatan dan pengobatan karena keduanya termasuk dalam ri’ayah yang
diwajibkan bagi negara.
Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi saw (sebagai kepala
negara) mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi saw.
pernah mendapatkan hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Mesir. Nabi lalu
menjadikannya itu sebagai dokter umum bagi masyarakat. Imam Bukhari dan
Muslim meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa serombongan orang dari Kabilah
‘Urainah masuk Islam lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku
kepala negara lalu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta
zakat yang dikelola Baytul Mal di dekat Quba’ dan diperbolehkan minum
air susunya sampai sembuh. Al-Hakim meriwayatkan bahaw Khalifah Umar bin
Khaththab memanggil dokter untuk mengobati Aslam. Semua itu merupakan
dalil bahwa pelayanan kesehatan dan pengobatan termasuk kebutuhan dasar
bagi rakyat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis untuk
orang-orang diantara rakyat yang memerlukannya. Pelayanan kesehatan
gratis itu diberikan dan menjadi hak setiap individu rakyat sesuai
kebutuhan layanan kesehatannnya tanpa memperhatikan tingkat ekonominya.
Pemberian layanan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana besar.
Untuk itu bisa dipenuhi dar sumber-sumber pemasukan negara yang telah
ditentukan oleh syariah. Diantaranya dari hasil pengelolaan harta
kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas,
dan sebagainya. Juga dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i,
usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan
lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara
memadai dan gratis untuk seluruh rakyat.
Wahai kaum Muslimin
Fakta-fakta kehidupan yang kita jalani menegaskan kepada kita untuk
segera meninggalkan sistem kapitalisme demokrasi dan segera kembali ke
pangkuan syariat Islam dalam naungan khilafah. Hanya dalam khilafah
setiap individu rakyat akan mendapatkan hak-haknya termasuk pelayanan
kesehatan dan pengobatan yang memadani secara gratis. Karena itu saatnya
kita bergegas merapkan syariah Islam secara total dalam naungan
Khilafah Rasyidah, yang sekaligus itu juga merupakan pembuktian
kesempurnaan keiamanan kita. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar Al Islam:
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai rasa malu di tengah
masyarakat semakin merosot. Hal itu, menurut Presiden, terlihat dari
masih terjadinya korupsi, kongkalikong, kekerasan, fitnah, caci maki,
dan berbagai keburukan lainnya (kompas.com, 19/2).
- Itu terjadi karena sistem memfasilitasinya. Sistem kapitalisme demokrasi mengutamakan tolok ukur manfaat. Dan dengan akidah sekulerismenya yang menjauhkan agama dari kehidupan dan negara, maka sangat wajar dan logis rasa malu tidak diperhatikan lagi.
- Jika ingin masyarakat memiliki rasa malu dan menjunjung tinggi norma dan nilai-nilai mulia, satu-satunya jalan adalah dengan menerapkan syariah Islam secara total untuk mengatur seluruh urusan kehidupan
0 komentar:
Posting Komentar