Kebijakan Perhotelan di Masa Khilafah
Bahasa Arab hotel adalah al Funduq.
Kata ini berasal dari Persia (Lisan Al Arab, Ibnu Manzhur, 10/313).
Sistem perhotelan telah dikenal sejak awal peradaban Islam. Kebolehannya
didasarkan pada dalil umum ayat Alquran Surat an Nur ayat 29; “Tidak dosa atasmu memasuki rumah yang tidak didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu”. Imam Thabari menafsirkan ayat tersebut dengan “Wahai manusia, tidak ada dosa atasmu untuk memasuki rumah-rumah yang tidak berpenghuni tanpa izin”.
Mengenai rumah apa yang dimaksud? Para ulama berbeda pendapat.
Sebagian berpendapat bahwa rumah yang dimaksud adalah hotel dan
rumah-rumah yang dibangun di perjalanan dan tidak memiliki penghuni yang
tertentu. Rumah-rumah tersebut dibangun untuk para pelancong dan
orang-orang yang dalam perjalanan agar mereka menginap dan menempatkan
barang-barang mereka di situ” (Jami’ al Bayan fi Ta’wil al Quran, Thabari, 19/151).
Ada perbedaan kebijakan terhadap al funduq di masa
Rasulullah SAW dan masa pemerintahan khilafah Islamiyah dengan kebijakan
negara terhadap hotel dalam sistem sekuler hari ini. Kebijakan
perhotelan di masa Khilafah selalu dilandasi dengan iman dan tidak
keluar dari koridor syariah. Sedangkan hotel di masa kini lahir dari
peradaban sekuler yang hanya berorientasi profit semata.
Para Khalifah dan hotel
Di antara para khalifah yang mencurahkan perhatian terhadap
perhotelan adalah Khalifah Al Mustanshir Billah (w 640 H). Ia membangun
hotel-hotel sebagai tempat singgah bagi orang-orang fakir dan musafir.
Khalifah Abassiyah, Al Mu’tadhid seringkali menggunakan hotel untuk
tempat menginap selama dalam perjalanan dinas kenegaraan. Ia menginap di
hotel Al Husain dekat Kota Iskandarona (sekarang masuk wilayah
Turki) tahun 287 H, saat ia melakukan kontrol terhadap daerah-daerah
perbatasan dan kota-kota di Syam. (Al Bidayah wa An Nihayah, Ibnu Katsir 5/635).
Khalifah lainnya yang peduli dengan hotel adalah Sultan Abu Ya’qub
Yusuf al Murini, di Maghrib (w.706 H). Ia yang merenovasi hotel Asy Syamain
di kota Fez setelah mengalami kehancuran. Kemudian Sultan mewakafkan
hotel tersebut kepada para pedagang yang datang ke masjid jami’ di pusat
kota. As Suluk, 5/114, Al Muqrizi mencatat beberapa nama hotel
di Iskandariah yang dibakar orang-orang Siprus saat menyerang kota
tersebut pada tahun 783 H. Nama-nama hotel itu di antaranya Al
Kaitalaniyyin, Al Janwiyyin, Al Mozah dan Al Musaliyyin. Semua hotel
tersebut dikhususkan untuk para saudagar asal Eropa dan Italia.
Bukan hanya para khalifah yang membangun hotel, kaum wanita pun telah ikut andil. Dalam tarikh Madinah Dimasyq 2/320,
Ibnu Asakir menyebutkan bahwa Ishmatuddin binti Muinuddin, istri dari
Shalahuddin (w. 581H) adalah pemilik hotel Ishmatuddin di Damaskus.
Dengan membangun hotel tersebut Ishmatuddin berharap balasan yang baik
dari Allah SWT.
Kebijakan
Di antara kebijakan para khalifah terkait hotel adalah pertama,
khalifah mendorong warganya yang berkecukupan untuk membangun hotel dan
penginapan bagi para fakir miskin dan musafir, para pencari ilmu maupun
para pedagang, sebagai amal shaleh. Kedua, kepada para pemilik
hotel para khalifah menginstruksikan untuk membuat sistem keamanan
hotel yang menjamin kenyamanan dan keamanan para pengunjung beserta
harta mereka. Seperti kisah seorang petugas patroli yang menangkap
seorang budak yang membunuh majikannya di hotel. (Imam Ibnu al Jauzi, Al Muntadzhim, 10/265).
Ketiga, pemilik hotel diwajibkan bersikap adil sesuai hukum
Islam dalam melayani tamu. Dalam data wakaf hotel Qarah Thay pada masa
Bani Saljuk disebutkan bahwa setiap orang yang datang ke hotel tersebut,
baik Muslim maupun non-Muslim, laki-laki maupun perempuan, merdeka
maupun budak, diberi jatah setiap hari tiga uqiyah roti yang bagus, satu
uqiyah seberat seratus dirham, satu mangkok makanan lain dan beberapa
uqiyah daging yang telah dimasak. (www.arabicmagazine.com/ArtDetails.aspx?id/56)
Keempat, para khalifah bertindak tegas terhadap hotel dan
pemiliknya yang melanggar aturan syariah Islam. Pada masa Daulah
Umawiyah hotel-hotel telah tersebar hingga Andalusia. Akan tetapi,
sebagiannya menyimpang dari etika umum, aturan syariah. Penyimpangan
yang terjadi saat itu mirip dengan apa yang terjadi di dalam kebanyakan
hotel zaman sekarang, seperti pelayanan khamr, mesum dan perzinaan.
Terhadap hotel seperti ini khalifah langsung mengambil tindakan tegas
mencabut izin operasi bahkan menghancurkannya.
Hal ini sebagaimana tindakan tegas yang dilakukan oleh Khalifah Al
Hakam bin al Hisyam terhadap hotel yang ada di Rabadh. Kebijakan ini
diambil setelah khalifah mengetahui bahwa pemilik dan para pengurus
hotel tersebut berbuat fasik dan merusak akhlak masyarakat. Wallahu ‘alam bi ash shawab.
Oleh : Roni Ruslan
0 komentar:
Posting Komentar