Mempercayai keberadaan Allah sebagai Sang Pencipta merupakan bagian dari sifat dasar yang melekat pada diri manusia. Segala potensi yang ada (baca: diberikan) pada manusia mampu menguak misteri keberadaan Tuhan sebagai pencipta. Seorang ulama berkata bahwa secara naluriah, ketika Karl Max Sang materialis mendekati ajalnya dia menyebut dan mengingat Tuhan, bukan alat-alat produksi yang ia "sembah" selama hidupnya. Seorang yang paling atheis pun memliki kecenderungan untuk mengingat zat yang Maha Kuasa ketika berada dala kondisi kritis atau genting apa lagi yang sampai membahayakan nyawanya. Seorang atheis yang terjatuh ke dalam jurang yang sangat dalam sendirian dan tanpa ada harapan lagi untuk keluar pasti secara naluriah mengingat Tuhan dan menyesali perbuatannya yang dia ingat masuk kategori "melanggar". Kisah yang sama bisa juga kita jumpai ketika seorang pencuri yang dikejar massa untk dibakar. Dia melafadzkan Allahuakbar berkali-kali ketika melihat orang banyak berlarian menuju diinya sambil membawa jerigen minyak tanah dan berteriak bakar...bakar..!!.
Demikian lah secara naluriah
manusa mengakui bahwa ada zat dan kekuatan yang lebih tinggi yang berada
di luar dirinya yang mengatur dan menentukan hidup dan matinya. Lantas
bagaimanakah manusia menggunakan potensinya yang lain dalam dirinya
untuk memahami keberadaan Tuhan?. Keistimewaan manusia yang lain yang
dapat digunakan adalah akal. Bagaimanakah akal diajak untuk berfikir
tentang keberadaan Tuhan?.
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani di dalam buku Nizhamul Islam memperkenalkan istilah aqidah aqliyah yaitu
aidah yang diperoleh dan dipahami melalui prose berfikir secara
rasional dan mendalam. Menurut beliau, akidah akan kuat manakala proses
pencapaiannya melibatkan aktivitas berfikir. Dan akidah yang diperoleh
hanya dari proses doktrinsai akan bersifat temporer dan rapuh. Allah SWT
berfirman, yang artinya, "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): 'Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci
Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.'" (Ali 'Imran: 191)
Imam
Ali Tanthawi dalam kitabnya Aqidah, Doktrin dan Filosofi menggambarkan
secara analogi tentang berfikir dalam rangka memahami keberadaan alam
ini dan memahamai keberadaan Sang Pencipta. Beliau menyebutkan bahwa hal
tersbut bisa diibaratkan seperti ada dua orang yang tersesat di sebuah
gurun pasir yang sangat luas. Keduanya kemudian menemukan sebuah istana
megah dan besar di tengah-tengah gurun pasir tersebut. Manusia yang
masih waras pasti akan berkata bahw istana tersebut pasti ada yang
membuatnya, walaupun tidak menutup kemungkinan orang-orang atheis akan
berkata bahwa istana tersebut terbentuk dengan sendirinya dari badai
gurun yang terjadi terus menerus sehingga membentuk sebuah istana. Toh,
kita pasti bisa memilih mana pernyataan yang bisadiikuti. Sebuah logika
sederhana juga dapt dilihat dalam sebuah riwayat tentang masyarakat
badui tatkala ditanya tentang unta. Ketika ditanya tentang bagaimana kah
meyakini adanya unta tanpa melihat unta itu sedniri secara langsung?
Orang badui menjawab adanya tahi unta menandakan adanya unta. Artinya
Jika di jalan setapak kita menemukan tahi unta berceceran, maka hampir
bisa dipastika bahwa unta pernah lewat di jalan setapak tersebut.
Membuktikan
Adanya Tuhan adalah dengan caa memperhatikan semua hal yang menajdi
ciptaan-Nya. Segala bentuk benda dan keteraturannya di muka bumi dan
jagat raya ini tidaklah mungkin ada dengan sendirinya tanpa ada Pencipt
sekaligus Pengaturnya. Wallahu a'lam bish-shawab
0 komentar:
Posting Komentar